Senin, 20 Mei 2013

Cleaning Service KFC jadi Boss Rocket Chicken


Cleaning Service KFC Jadi Boss Rocket Chicken

Bekerja sebagai cleaning service merupakan awal mimpinya untuk hidup mandiri dan dapat membiayai kuliah. Namun, karena kesibukannya bekerja sebagai cleaning service di restoran cepat saji tersebut, Nurul Atik harus mengubur impiannya dalam-dalam untuk melanjutkan pendidikannya. Ia malah membangun sendiri usaha makanan cepat saji yang kini sukses.http://asalasah.blogspot.com/2013/01/cleaning-service-kfc-jadi-boss-rocket.html

Anda pasti pernah mendengar ungkapan: “Orang yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.” Ungkapan ini mungkin cocok disematkan bagi seorang Nurul Atik. Pria asal Jepara ini menapaki kesuksesan dari jalan berliku.

Mantan cleaning service ini sekarang memiliki Rocket Chicken, perusahaan waralaba di bidang makanan cepat saji. Kini, ia memiliki 83 mitra di seluruh Indonesia. Ia mendapat pembayaran biaya royalti hingga Rp 100 juta dari para mitra.


Sebelum menjadi Presiden Direktur Rocket Chicken, Nurul bekerja sebagai seorang cleaning service di California Fried Chicken (CFC) di Semarang, Jawa Tengah. Dari seorang tukang bersih-bersih resto cepat saji, kini dia menjadi bos resto cepat saji milik sendiri.

Kisah Nurul dalam menapaki dunia kerja berawal ketika ia lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA), 20 tahun lalu. Lantaran ingin meringankan beban orang tua, Nurul pun berencana untuk melanjutkan kuliahnya dengan biaya sendiri.

Sempat menganggur selama setahun mencari pekerjaan, Nurul akhirnya diterima bekerja di CFC di Jalan Pemuda Semarang. Nurul bekerja sesuai dengan profesi yang dibutuhkan pada saat itu yakni sebagai cleaning service alias tukang bersih-bersih di restoran cepat saji itu.

Selama tiga bulan, Nurul menjadi karyawan dengan status trainee. Gaji pertama Nurul sebagai cleaning service pada saat itu hanya Rp 35.000 per bulan. Ia harus membagi gaji itu untuk kebutuhan makan, kos, dan biaya transportasi. Dengan jumlah gaji yang pas-pasan tersebut, sering ia harus berutang pada rekan-rekannya di CFC.

Karena kinerjanya yang bagus, ia kemudian diangkat menjadi pegawai tetap. Selang tiga bulan berjalan, akhirnya Nurul diangkat menjadi tukang cuci piring selama empat bulan.

Ia cepat bergeser ke posisi juru masak selama empat bulan. Karena kinerjanya semakin hari semakin baik Nurul diangkat lagi menjadi kasir selama enam bulan. Tak hanya sampai di situ, Nurul lalu naik pangkat menjadi seorang supervisor selama satu tahun.

Nurul juga mengecap posisi sebagai asisten manajer selama dua tahun di perusahaan yang sama. Karena kekosongan di bagian audit, Nurul kemudian menggantikan posisi tersebut selama tiga bulan. Tak memerlukan waktu yang lama, pria yang kini berusia 42 tahun ini mengecap posisi manajer areal selama dua tahun.

Posisi manajer areal mengharuskan Nurul berkeliling dari kota satu ke kota yang lain untuk memberikan pelatihan kepada karyawan-karyawan baru mulai dari berbagai kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Magelang, dan Solo, hingga Yogyakarta.

Dengan kesibukannya bekerja di restoran cepat saji tersebut, Nurul mengubur dalam-dalam impiannya untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. “Pada saat menjadi cleaning service, ternyata jam kerjanya shift sehingga saya tidak bisa membagi waktu antara kerja dan keinginan untuk kuliah,” tutur Nurul.

Namun, ia tak putus asa. Nurul mempunyai jurus jitu dalam menghadapi tantangan yang ada di depan mata. “Setiap melangkah kita harus memiliki niat yang kuat dan harus ditekuni,” tandas Nurul.

Ia juga mengungkapkan, dalam menjalankan segala kegiatan harus dilandasi dengan percaya diri dan semangat. Menurutnya, ia mendapat banyak pelajaran selama bekerja di restoran cepat saji CFC. Ia banyak mendapat ilmu dari rekan-rekannya yang berkerja di tempat tersebut, dari mulai menghargai hidup sampai pada pengelolaan restoran.

Pada saat bekerja sebagai cleaning service di CFC, Nurul memang tidak memikirkan jumlah pendapatan atau gaji yang ia terima. Ia hanya terus berpikir untuk bekerja sambil belajar apa saja yang didapatnya kala itu.

Karena keinginan yang kuat untuk hidup mandiri itu, Nurul memutuskan mencoba hidup mandiri dengan niat mendirikan usaha sendiri. “Orang tua pun mendukung sepenuhnya apa yang telah menjadi pilihan saya, hidup mandiri,” tandas Nurul.

Jiwa wirausaha tidak bisa dipisahkan dengan sosok Nurul Atik. Walau sudah berada pada posisi yang nyaman di sebuah restoran cepat saji, Nurul memutuskan membuka usaha dengan mereknya sendiri, Rocket Chicken. Cuma butuh waktu setahun, restoran yang menjual fried chicken ini sudah mengembang sampai 83 mitra.

Dengan gaji yang pas-pasan yang ia terima ketika menjadi cleaning service membuat Nurul Atik harus memutar otak agar ia bisa memenuhi kebutuhan saban bulannya. Tak jarang, ia harus meminjam uang dari rekan kerjanya di California Fried Chicken (CFC). Ia juga kerap meminta tambahan uang ke orang tuanya.

Untuk menghemat biaya hidup, Nurul pun harus mencari tempat kos yang jaraknya sekitar lima kilometer dari tempatnya bekerja. Tak jarang dengan alasan pengiritan, ia memilih berjalan kaki sampai satu kilometer. “Kalau sudah lelah, saya baru naik angkot,” ujarnya mengenang.

Kamar kos Nurul juga tak kalah memprihatinkan. Dengan luas 3X3 meter, kamar sewaan itu tak dilengkapi dengan kasur dan perabot lainnya. Kondisi seperti itu dilakoni Nurul kurang lebih selama lima bulan, sampai ia mendapat mess dari kantornya.

Buka usaha
Seiring karier yang terus menanjak serta kondisi ekonomi yang terus membaik, pada usia 29 tahun, Nurul pun memutuskan menikah dengan Emy Setiawati, seorang karyawan di sebuah swalayan di Yogyakarta yang baru dipacarinya dua bulan. “Saat itu, saya sudah menjadi manager di CFC Yogya,” ujar Nurul.

Meski begitu, gaji yang diterima Nurul tak mampu memenuhi kebutuhan selama satu bulan. Apalagi menyusul kemudian pasangan Nurul dan Emy dikarunia momongan. Makanya, setelah melahirkan anak pertama mereka, Emy membantu perekonomian keluarga dengan membuka usaha roti.

Meski posisinya cukup baik di tempat kerjanya, keinginan Nurul untuk membuka usaha sendiri rupanya tak pernah padam. Puncaknya terjadi ketika krisis keuangan melanda Tanah Air tahun 1998, Nurul memutuskan keluar dan membuat usaha sendiri.

Nurul merasa waktu 10 tahun bekerja sudah cukup untuk berguru di restoran cepat saji Amerika Serikat itu. “Saya mantap keluar karena ingin mandiri,” ujarnya.

Pada saat yang sama, seorang kawan mengajak Nurul membuat restoran makanan cepat saji yang mengusung ayam goreng (fried chicken). Ide tersebut muncul karena pada waktu itu membuka restoran cepat saji atau fast food menjadi tren di kalangan masyarakat.

Berbekal pengalamannya, Nurul mantap menerima ajakan temannya. Ia kemudian bertindak sebagai pengembang bisnis, sementara temannya mengurusi permodalan. Usaha keras mereka membawa hasil. Bisnis mereka cepat mengembang. Saat ini, Nurul telah memiliki 86 cabang.

Seiring berjalannya waktu, lelaki kelahiran Jepara, 25 Juni 1966 ini kembali merasa gelisah. Ia tergelitik mengibarkan bendera usaha dengan membuat restoran fried chicken sendiri. Kali ini dengan potensi pasar yang berbeda dengan usaha sebelumnya yang menyasar pasar menengah atas.

Pilihannya jatuh ke pasar menengah bawah. Selain pasarnya lebih besar, segmen tersebut juga belum tersentuh restoran fast food lokal maupun asing. Pada 21 Februari 2010, Nurul lantas mendirikan usaha sendiri dengan nama Rocket Chicken di Jalan Wolter Monginsidi, Semarang.

Perkembangan bisnisnya ini di luar perkiraan Nurul. Antusias masyarakat menyambut bisnis makanan cepat sajinya sangat cujup menggembirakan. Baru setahun berjalan, Nurul memiliki 83 mitra. Dengan sistem waralaba, Nurul mengembangkan bisnisnya tampa mengeluarkan modal uang sepeser pun. “Semuanya hanya didasarkan pada kepercayaan saja,” ujarnya.

Beruntung, kebanyakan mitranya adalah orang-orang yang mengenal dan tahu sosok Nurul yang telah berpengalaman dalam bisnis ayam krispi ini. “Saya cuma jual nama saja, outlet awalnya tak punya,” tandas Nurul.

Bersama mitranya, ayah tiga anak ini hanya menekankan agar menjalankan bisnis dengan kerja keras, tekun serta jujur. Bila itu menjadi landasan, Nurul yakni bahwa usaha mereka akan membawa amanah. Tak cuma bagi karyawan, tapi juga pemilik usaha franchise ayam krispi Rocket Chicken.

sumber: http://asalasah.blogspot.com

Senin, 01 April 2013

Jualan 'Mie Jupe' Pria Ini Raup Rp 150 Juta/Bulan

Jakarta - Berawal dari hobi makan mie, Ayodya Kunto (30) berhasil menciptakan mie ramen bercita rasa Indonesia dengan sebutan Mie Jupe alias Mie Juara Pedas. Memulai usaha dari Agustus 2012 dengan modal awal berutang Rp 50 juta, kini pria tersebut bisa meraup omzet hingga Rp 150 juta per bulan melalui 2 kiosnya.

Saat ini, Ayodya sudah memiliki 2 cabang di Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur dan di Bintara, Bekasi. Awal April ini, dia juga akan membuka cabang baru di Harapan Indah Bekasi.

“Kalau modal pribadi sih enggak ada, itu modal dari utang, sekarang sudah balik modal, malah untung. Usaha saya semakin ramai dan berkembang. Mulai per awal April ini, saya sudah bisa membuka cabang yang ketiga,” katanya saat bercerita kepada detikFinance, di Jakarta, Senin (1/4/2013).

Mie Jupe milik Ayodya ini dihargai Rp 10 ribu hingga Rp 12 ribu per porsinya. Mie Jupe ini menyediakan 3 varian mie, yaitu Mie Jupe kuah, goreng, dan spaghetti. Untuk Mie Jupe kuah, terdiri dari rasa original dan kare, sedangkan Mie Jupe goreng ada rasa original, saus tiram, dan saus pedas.

Kata Ayodya, produk Mie Jupe ini seperti mie ramen dari Jepang namun dengan skala ekonomis menengah ke bawah dengan sedikit inovasi melalui sensasi pedas karena masyarakat Indonesia cenderung suka pedas.

Dia mengaku, Mie Jupe buatannya ini banyak digemari pelanggannya yang kebanyakan remaja, mulai dari anak sekolah sampai kuliahan. Biasanya, pelanggan Mie Jupe ini bisa mencapai hingga 250 orang per harinya.

Ada yang beda dari Mie Jupe ini dari mie yang biasa kita jumpai, yaitu pelanggan bisa memilih tingkat kepedasan, mulai dari level 1 hingga 10.

“Kita punya rasa khas kuah yang berbeda. Mie-nya juga kita bikin sendiri. Pedasnya juga berlevel dari level 1 sampai 10. Sekarang Mie Jupe berprospek sangat bagus karena sudah jadi tren masakan pedas saat ini,” cetusnya.

sumber: detik.com

Pernah 9 Kali Gagal, Wanita Ini Sekarang Raup Omzet Rp 10 Miliar


Jakarta - Jangan pernah menyerah untuk mencapai kesuksesan. Kejar terus untuk mendapatkannya walaupun telah berulang kali gagal. 

Demikian diungkapkan Riezka Rahmatiana, Founder & Commisioner Justmine Pisang Ijo yang telah 9 kali gagal membangun berbagai macam bisnisnya. Melalui bisnis Justmine Pisang Ijo inilah, kini ia bisa meraup omzet hingga Rp 10 miliar setiap tahunnya.

"Awalnya saya sempat tertipu ratusan juta. Pisang ijo ini bisnis kesembilan dengan hanya modal Rp 150 ribu tapi berhasil," kata Riezka usai menjadi pembicara di acara Launching Ernst and Young Entrepreneurial Winning Woman 2013, di Graha Niaga, Jakarta, Rabu (20/3/13).

"Kenapa bisa besar karena punya impian besar. Prinsip saya berpikir yang besar dengan tindakan yang besar dan akan mendapat hasil yang besar. Apa yang dipikirkan saya dulu menjadi saya yang sekarang," katanya. 

Bisnis kuliner khas Makassar miliknya ini, kini sudah merambah ke berbagai kota di Indonesia bahkan hingga Malaysia.

Dengan modal awal hanya Rp 150 ribu saja, wanita asal Lombok ini kini bisa menikmati manisnya perjuangan. Saat ini, dia sudah memiliki 250 gerai, diantaranya satu gerai di Malaysia yang dibuka Februari 2013 lalu.

Berawal dari hobi makan, ibu dua anak kelahiran 1986 ini punya mimpi untuk bisa menguasai dari hulu ke hilir penjualan makanan tradisional hingga dikenal ke mancanegara.

"Tadinya bahan bakunya dari distributor sekarang menanam sendiri. Pisang ijo itu khas Makassar tapi saya orang Lombok tinggal di Bandung. Awalnya suka makan. Jadi apapun yang dilihat apalagi kue tradisional beli dan penasaran gimana bikinnya," jelasnya.

Menurutnya, kemauan, keberanian, dan lingkungan sekitar ikut perperan besar terhadap kesuksesan seseorang. "Orang sukses terjadi akibat lingkungan yang sukses," cetusnya

sumber: detik.com

Rabu, 20 Februari 2013

Kisah sukses bisnis tahu bakso

baksotahu
Sebagai istri pegawai negeri sipil (PNS) dengan gaji yang dirasa tak bisa memenuhi kebutuhan yang semakin besar, membuat Sri Lestari (55), harus memutar otak untuk mencari tambahan penghasilan.
Perempuan tiga anak itu pun mencoba bisnis pakaian, kelontong, dan beberapa usaha lain. Namun usaha itu tidak berjalan seperti yang diharapkan alias gagal. Ia jatuh bangun dalam membangun usaha. Dan, itu tak membuatnya patah arang.
Hingga akhirnya, istri Pudjianto itu mendapati ada menu tahu bakso yang belum pernah ditemuinya sebelumnya, pada suatu acara. Perempuan berjilbab yang hobi memasak itu lalu mencoba membuat penganan itu sendiri. Secercah harapan muncul. Penganan berbahan tahu dan bakso buatannya disukai.
"Awalnya kami hanya menjual di kalangan teman-teman PKK, atau Dharma Wanita. Lama kelamaan pesanan mengalir, akhirnya kami putuskan setiap hari membuat tahu bakso,’’ kata Sri Lestari, yang akrab disapa Bu Pudji, pemilik Toko Tahu Bakso Bu Pudji yang mulai dibuka pada 1996 itu.
Dia mengatakan, awalnya ia hanya memproduksi antara 100-150 biji. Usaha itu terus berkembang hingga pada 2002 ia mampu memproduksi hingga 1.500 biji. Kini, rata-rata ia menghasilkan sebanyak 10 ribu buah per hari. Bahkan, saat liburan hari raya Lebaran dan akhir pekan mencapai 15 ribu tahu per hari. Omzetnya mencapai ratusan juta per hari.
Meski pesanan cukup banyak ia tetap memperhatikan kualitas bahan baku dan pembuatannya dengan memenuhi standar kesehatan. ”Kami tidak menggunakan bahan pengawet, seperti formalin. Bahkan dalam prosesnya, peralatan maupun pengolahan selalu higienis. Makanya, tahu kami hanya dapat bertahan dua hari saja, kecuali dimasukkan ke lemari es,’’ ujarnya seperti dilansir Harian Suara Merdeka.
Dengan munculnya pesaing baru yang mencapai sekitar 20 usaha, ia mengaku bersyukur. Sebab, usaha tersebut mampu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

‘’Untuk bahan baku tahu, sejak awal kami menggunakan kedelai impor yang kualitasnya memang bagus dibanding kedelai lokal. Untuk dagingnya, kami memilih yang berkualitas,’’ tandasnya.

Bisnis usaha yang dibantu sekitar 70 karyawan itu kini berkembang pesat. Selain membuka outlet di Jalan Letjend Suprapto 24 Ungaran, ia juga membuka outlet di Jalan Jenderal Sudirman 156, Langensari atau depan Stadion Wujil, Ungaran.

Sarjana teknik mesin yang suskes dengan bisnis kuliner


Sarjana Teknik Mesin Yang Sukses Dengan Bisnis Kuliner

Rivai Fadli - Pemilik Surabi Bantai


Awal Juni petang itu, di sebuah toko yang terletak di jalan T. Iskandar, Lambhuk, Kota Banda Aceh, seorang lelaki muda terlihat sibuk melayani para pengunjung. Tujuh meja plastik yang di taruh di halaman toko dipenuhi puluhan gadis remaja. Dua perempuan yang duduk di meja paling pojok terlihat serius mengamati buku kecil berisi deretan menu. Beberapa saat mereka memanggil pelayan. Menu pilihan kini siap dihidangkan.


Begitulah suasana saban hari di tempat ini. Para warga kota Banda Aceh yang demen makanan enak dan unik, tentu Surabi Bantai jawabannya. Penganan tradisional yang dikemas dengan konsep modern ini pasti membuat anda ketagihan. Jangan khawatir soal harga, satu porsi anda cukup membayar enam ribu rupiah. Murahkan?



Surabi Bantai Rasa Saos dan Coklat
Rasa dulu ah...
Mumpung gratis, coba dulu ah....


Bagi kebanyakan orang Aceh kue serabi sudah sangat familiar. Penganan berbahan baku tepung yang dimakan dengan kuah santan. Berbentuk bulat, dengan permukaan kenyal. Nah, Surabi yang ini lain. Tidak dimakan dengan santan, tidak bulat, tapi tetap empuk.

Nama Surabi adalah gabungan antara Sunda dan Aceh. Su berarti Sunda dan Surabi berarti nama kue yaitu serabi. Bantai itu sendiri adalah bahasa Aceh yang berarti bantal. Nah, karena surabi makanan yang empuk sama halnya dengan bantal maka disebutlah Surabi Bantai. Jargonnya pun terkesan unik, Bantai surabinya rasakan empuknya.

Siapa sangka lezatnya Surabi Bantai itu ternyata lahir dari sentuhan tangan dingin pemuda lulusan Teknik Mesin. Alih-alih ingin membuat mesin, eh malah ia membuat kue.

Pemuda itu bernama Rivai Fadli. Lahir di Aceh Jaya, tahun 1985. Ia adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) N 1 Kota Banda Aceh. Setelah melepaskan seragam putih abu-abu,  ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan mengambil jurusan Teknik Mesin.

Bagi Rivai kuliah hanya untuk membuka wawasan dan membentuk pola pikir. Bukan berarti ketika kuliah mengambil jurusan hukum anda harus menjadi seorang pengacara. Ia sendiri justru lebih tertarik bergelut di dunia bisnis, meskipun ia tak mengantongi ijazah ekonomi.

“Tak ada yang salah kan kalau sarjana teknik tapi berbisnis,” ujar pria berkulit putih ini tersenyum.
Sore itu ia bersedia berbagi cerita seputar usaha surabi bantai yang kini membuatnya bisa hidup mandiri. Omset yang didapat dari bisnis kuliner ini setiap bulan mencapai Rp. 90 juta. Bila dikurangi biaya produksi dan operasional lainnya, laba bersih yang masak ke kantongnya berkisar Rp. 35 juta sampai Rp.45 juta perbulan.

Membangun usaha mandiri memang tak semudah membalik telapak tangan. Perlu perjuangan dan kesabaran. Jatuh, bangun, jatuh lagi dan bangkit lagi. Setidaknya itu dialami Rivai selama membuka usaha sendiri. Pria yang sudah menikah ini tiga kali mengalami kegagalan. Namun ia tak menyerah justru baginya gagal itu adalah pelajaran tambahan agar ia lebih siap menyambut kesuksesan.



Dan kini apa yang diucapkan terbukti sudah. Bisnis kuliner surabi bantai adalah satu-satunya eksperimen yang berakhir manis.

Lantas bagaimana kisah surabi bantai ini diciptakan?

“Saat itu saya jalan-jalan ke Bandung. Usaha ayam panggang baru saja saya tutup. Jadi saya refresing ke sana, siapa tahu dapat ide baru. Di kota Bandung saya melihat, mempelajari bagaimana orang di sana mengelola bisnis kuliner sederhana tapi laku. Saya lihat di Bandung banyak makanan-makanan tradisional yang konsep penjualannya secara modern,” jelas Rivai. Sesekali ia meminta izin karena harus melayani para pengunjung.

Dari hasil observasi itu maka timbullah ide untuk  membuat  kue tradisional Aceh dengan konsep madern. Dan pilihannya jatuh pada kue serabi. Kenapa serabi? “Serabi salah satu kue tradisional yang paling mudah ditemukan di Aceh,” jawab Rivai serius.

Sejak pulang dari Bandung, Rivai giat belajar membuat kue serabi. Berbekal tips-tips dari buku dan internet ia terus mencoba. “Tiga bulan kerjaan saya hanya bikin kue serabi. Pertama buat rasanya aneh banget,” kata Rivai terbahak mengenang perjuangan tempo hari.

Bulan ke empat ia mengambil keputusan untuk membuka usaha serabi. Modal awal hanya Rp. 15 Juta. Dengan modal tergolong kecil itu ia membeli peralatan ; gerobak, peralatan masak, tepung dan beberapa buah meja serta kursi plastik.

Ia memilih lokasi di depan pertokoan dekat dengan jalan utama Lambhuk. Biar lebih mudah diakses sama pelanggan, begitu alasannya. Awal berjualan orang-orang penasaran makanan jenis apa surabi bantai. Apalagi serabi made in Rivai ini tersedia dalam beragam rasa. Ada rasa coklat, rasa keju, saos, sosis dan telor.

“Pertama buka orang pada ketawa, bingung, penasaran. Kok ada ya, serabi rasa sosis. Akhirnya mereka coba, dan ternyata enak, besoknya bahkan mereka minta ditambah rasa-rasa yang lain,” ujarnya.

Bagi Rivai masukan  dari pelanggan menjadi ilmu yang berharga. Bahkan ia sangat senang kalau ada pelanggan yang cerewet. Dengan begitu ia bisa tahu apa kekurangan dari makanan yang ia sajikan.

“Saya suka dikritik, kalau tidak dikritik saya tidak tahu apa kekurangan masakan saya. Misal hari ini ada pelanggan yang bilang ‘serabinya terlalu lembek’, ya besoknya saya buat jangan terlalu lembek,” katanya membuka konsep dalam berbisnis.

Satu tahun kemudian, Rivai memindahkan gerobaknya ke tempat yang lebih bagus. Kini ia menyewa satu unit toko dua lantai. Di tempat yang baru nama surabi bantai semakin meroket. Kini surabi bantai sudah punya langganan tetap. Dan satu hal lagi yang harus diberi apresiasi, kini ia memiliki 12 karyawan.

Ke depan Rivai berniat untuk membuka outlet surabi bantai di Banda Aceh. Targetnya usai lebaran tahun ini. Mimpi besar lain yang ia tanam adalah menjadikan surabi bantai salah satu usaha berbasis franchise. Semoga mimpi itu terwujud.

Tinggalkan pekerjaan demi bisnis kuliner


Tinggalkan Pekerjaan demi Bisnis Kuliner
Watermark image
Dibaca : 76 kali      Komentar: 0

Bisa dibilang, awal membangun bisnis kuliner Lele Crispy terinspirasi dari kejadian yang tak disengaja. Yaitu ketika Fajar Alam Setiabudi (30) memarkirkan kendaraannya di depan sebuah warung makan lele yang kala itu ramai dengan pembeli.
"Tapi pas saya coba, kok rasanya begini-gini aja, enggak enak tapi kok ramai ya. Saya berpikir, kalau bisa diolah dengan baik, ikan lele pasti enak. Dari situ akhirnya saya putuskan untuk membuka usaha," ujarnya.
Namun tak serta merta keesokan harinya Fajar mendirikan warung makannya itu. Selama waktu satu bulan, Fajar mencoba berbagai resep untuk bisa menghasilkan lele nikmat dan dahsyat saat dicoba. "Saya coba-coba mulai dari lelenya mau diapakan, bentuk penyajiannya bagaimana, sampai pada sambalnya. Sepuluh kali saya ganti-ganti sambal karena takarannya yang menurut saya kurang pas," ujarnya.
Dari gemar memasak saat masih duduk di bangku sekolah dasar, menempuh pendidikan Pariwisata di Universitas Trisakti, Jakarta Selatan, dan bekerja di majalah masak-memasak, cukup menjadi modal Fajar berbisnis kuliner. "Saya pernah jadi karyawan di sebuah perusahaan swasta, tapi saya berpikir, kenapa tidak buka usaha kuliner sendiri saja toh saya juga suka masak," kata Fajar.
Meski bisa dibilang membangun bisnis kuliner Lele Crispy adalah rencananya yang tak disengaja, namun keinginan membuka usaha sudah ada sejak kecil. "Dari sejak suka masak itulah saya punya cita-cita mau punya usaha kuliner sendiri. Ya akhirnya terwujud juga sekarang," tuturnya.
Dalam berbisnis tentu kendala senantiasa muncul. Namun kendala itu tak sampai membuat Fajar patah arang. Saat berencana memutuskan membuka usaha pada pertengahan 2009, Fajar sempat mendapat masukan dari keluarga untuk tak mengambil keputusan terburu-buru dengan keluar dari pekerjaannya sebagai dapur uji di Majalah Sedap.
"Tapi karena keinginan, niat, dan usaha yang kuat, saya bisa membangun usaha ini sampai akhirnya bisa seperti sekarang. Istri sangat mendukung, malah dia berhenti bekerja untuk membantu saya di warung," kisahnya.
Soal persaingan, Fajar tak takut meski banyak sekali warung makan bahkan warung-warung tenda yang menjual lele sebagai menu utama. Gurih, murah, dan pelayanan yang menarik dijadikan Fajar sebagai senjata untuk mempertahankan dan menarik minat para konsumen terhadap bisnis yang digelutinya.
Minat untuk membuka cabang atau menggunakan sistem waralaba kini sudah ada dalam pemikirannya. Hanya saja, untuk melaksanakannya, Fajar harus berpikir ulang agar semuanya tetap terkendali dan tidak sampai menelantarkan apa yang sudah dibangunnya sejak tiga tahun terakhir.
"Harus pikirkan SDM-nya juga kalau mau buka cabang. Selama ini kan saya juga menjalaninya sendiri, saya yang olah bahan-bahannya sendiri, dan juga masih masak kalau warung memang lagi ramai. Mungkin tahun depan akan ada rencana jadinya seperti apa," tuturnya. (vin)

Kamis, 25 Agustus 2011

Erick - Pemilik Burger Blenger

Bisnis Keblinger Burger Blenger

Burger dan hot dog di kedai Erik ini tampil dalam porsi besar dan olesan mayonnaise yang terbilang generous. Rasa burgernya pas untuk lidah orang Indonesia, tak heran jika banyak lidah rela keblinger Burger Blenger ini. Coba tengok. Kios yang dominan warna hitam, abu-abu, dan merah di sudut Jalan Lamandau IV, Jakarta Selatan, itu tak pernah sepi beraktivitas.

Empat orang pria berkaus hitam-hitam, yang menjadi penghuni tetap dapur, nyaris tak pernah diam. Burger Blenger, Grill Burger dan Chili Dog. Tulisan itu terpampang jelas dalam papan berwarna merah, tepat di atas sebuah dapur mungil berukuran 15 m2. Di depan kios tersebut tampak empat buah payung taman yang masing-masing menaungi satu set meja kursi taman. Di dapur terdapat panggangan yang berukuran sedang, dua buah microwave, serta lemari pendingin yang besar.

Meski hanya sebuah penjaja burger di pinggir jalan, kedai itu hampir tak pernah sepi. Dari pukul 13.00 hingga 21.00 pengunjungnya terus berdatangan. Ada yang bersantap di kedai itu. Tapi, lantaran tempatnya terbatas, banyak pula yang menenteng bungkusan styrofoam berisi burger atau hot dog. Kalau diamati, pembelinya pun beragam. Ada anak-anak ABG yang tampil trendi, lalu orang-orang muda yang baru pulang kerja, eh... terselip pula dua orang lanjut usia mengantre di depan kasir. Lantaran terbilang kedai pinggir jalan, tata cara makan burger di sini sedikit beda.

Pengunjung yang datang harus langsung memesan. Setelah membayar, barulah pesanan tersebut dibuat. Tamu yang banyak membuat pekerja di Burger Blenger beraksi dengan cekatan. Mula-mula mereka menata kemasan styrofoam di atas meja. Lalu di dalamnya diisi dengan burger bun atau hot dog bun, sembari menunggu daging yang dibakar lebih dulu. Mereka juga membubuhkan sayuran serta mayonnaise dalam takaran yang banyak.

Setelah menambahkan daging, styrofoam berisi burger atau hot dog itu dimasukkan ke dalam microwave, agar bumbunya meresap dan bun-nya tambah nikmat. Nah, jika baru pertama kali mampir ke Burger Blenger, tak perlu bingung memilih menu. Di sini cuma ada empat menu makanan, yakni cheese burger, beef burger, chili dog, dan cheesy dog. "Ini semua resep kreatif saya," ujar Erik Kadarman, si pemilik kedai. Selain di Lamandau, Burger Blenger juga mempunyai cabang di Bintaro dan Tulodong House bilangan Senopati. Menu favorit di sini adalah cheese burger.

Satu porsi cheese burger ala Burger Blenger ini memang benar-benar bikin mblenger kekenyangan. Pasalnya, menurut Erik, ia memakai bun dengan bobot 85 gram, serta daging burger yang beratnya 100 gram. "Tapi, ketika dipanggang, bobot daging akan berkurang karena kandungan air hilang dan lemaknya mencair," jelasnya. Bun dan daging racikan sendiriSelain ukurannya heboh, sayuran dalam cheese burger bikinan Erik tampak agak berbeda. Timunnya adalah kyuri atau timun jepang segar, bukan timun yang diasinkan. Pasalnya, "Lidah Indonesia tidak begitu suka timun asin," alasannya. Ia juga menggunakan letuce dan bukan selada air atau selada keriting, agar jika digigit terasa lebih crispy.Erik juga royal membubuhkan mayonnaise dalam porsi menunya. Harganya di pasaran memang selangit.

Tapi, Erik tak merasa terganggu dan rugi lantaran dia bikin mayonnaise sendiri. Itu sebabnya, ia dengan murah hati bisa membubuhkan mayonnaise dalam takaran yang besar. Maklum, "Burger dan hot dog begini, kunci rasanya ada di mayonnaise," papar Erik. Tak tahunya, selain mayonnaise-nya home made, Erik juga membuat sendiri bun, burger, dan sosis untuk kedainya ini. Awalnya dulu Erik mempunyai pemasok roti. Ia juga biasa membeli sosis di pasaran. Tapi, "Sosis itu rasanya biasa," jelas Erik.

Lantas, Erik yang hobi masak itu pun mencoba-coba resep sosis sendiri dan sukses. Jadi, jangan heran jika ukuran sosis untuk cheesy dog terbilang gede. Sebagai pembuat sosis, Erik bebas-bebas saja menentukan sendiri ukuran sosisnya. Dalam sebulan, Erik membutuhkan 1,5 ton daging sapi impor dari Selandia Baru untuk diolah menjadi burger dan sosis. Begitu pun dengan bun atau roti untuk burger dan hot dog. Setelah kedainya mulai ramai, Erik mengaku terdorong membuat bun sendiri. Setiap hari kedai Bugger Blenger ini buka dari pukul 13.00 hingga pukul 21.00.

Tapi, selama waktu itu pula kedainya tak pernah terlihat sepi. Para pembelinya menyerbu menu bikinan Erik. Sepotong cheese burger dan cheesy dog harganya Rp 9.500, sedangkan beef burger serta chili dog harganya Rp 8.000 untuk tiap porsi. Untuk minumannya, ada juice strawberry segar yang dibanderol dengan harga Rp 7.000 per gelas. +++++Sama-Sama Berakhiran ErKalau melihat porsi burger yang disajikan Erik, pastilah langsung tebersit rasa kenyang yang mantap. Malah, ada yang sampai mblenger kekenyangan jika kapasitas perutnya kecil. Sebenarnya, label Burger Blenger ditemukan Erik dengan tak sengaja. Dulu ia mengaku bingung memberi nama kedainya. "Pokoknya saya ingin kasih nama yang sama-sama berawalan B dan berakhiran Er," papar Erik.

Lantas, ia menemukan kata blenger. Kebetulan saja, kata itu cocok dengan penampilan burger Erik. "Begitu gigitan terakhir benar-benar langsung masuk dan kenyang," sambungnya sambil tertawa. Resep dari BrowsingErik Kadarman, pemilik Burger Blenger, mengaku berhobi masak sejak masih SMP. Lelaki berusia 32 tahun ini menceritakan hal itu sambil tertawa lebar. "Kalau teman lain bacanya Hai, waktu itu saya sibuk menggunting resep di Majalah Kartini," cetus ayah satu anak ini. Kendati punya hobi masak, Burger Blenger merupakan usaha makanan pertama yang dirintis Erik. Awalnya, ia bekerja sebagai karyawan salah satu perusahaan Bakrie. Tapi, Erik memang bercita-cita punya usaha sendiri.

Setelah berpikir lama, Erik memilih berjualan burger. Pasalnya, di Amerika, kedai burger banyak bertebaran di setiap sudut. Orang Indonesia juga suka burger, karena makanan ini sudah lazim dijajakan dengan sepeda genjot keluar masuk kampung. Erik ingin berjualan burger di lapak pinggir jalan, bukan di mal atau pusat perbelanjaan. Tujuannya agar orang yang membeli tak perlu repot parkir dan merasa harus berpakaian bagus. "Santai saja. Orang beli bisa langsung dimakan di tempat, di mobil, atau dibawa pulang," kata Erik.

Karena itu, Erik mencari lokasi yang komunitasnya sudah terbentuk, hal yang ia dapatkan di sudut Lamandau IV ini. Kedai burger Erik berdiri pertama kali pada bulan Juli 2004. Ia hanya menggunakan satu gerai kecil dan paling-paling laku 10 porsi tiap hari. Barangkali lantaran merasa cocok, banyak orang menyambangi kedai Erik. Pelan-pelan, jumlah menu yang terjual mencapai 300 porsi. Sekarang, jumlah itu tentu sudah berkali lipat lagi. Setelah kedainya makin laku, Erik yang lantas keluar dari kantornya ini, makin terdorong menambah cita rasa masakannya.

Ia lalu membuat sosis dan bun sendiri. Ia mengaku mencari resep sosis lewat search engine di internet. "Tinggal ketik sausage dan recipe, langsung muncul resep sosis dalam banyak bahasa," ujarnya sambil tertawa. Erik mengambil satu resep dari Jerman, yang terkenal dengan kelezatan sosisnya, lantas diaplikasikan untuk chili dog dan cheesy dog ala Burger Blenger. Mau coba? Burger Blenger~ Jl. Lamandau IV Kebayoran Baru, Jakarta Selatan~ Area Parkir Raja Soto, Bintaro, Jakarta Selatan~Tulodong House, Jl. Senopati, Jakarta Selatan