Kamis, 25 Agustus 2011

Erick - Pemilik Burger Blenger

Bisnis Keblinger Burger Blenger

Burger dan hot dog di kedai Erik ini tampil dalam porsi besar dan olesan mayonnaise yang terbilang generous. Rasa burgernya pas untuk lidah orang Indonesia, tak heran jika banyak lidah rela keblinger Burger Blenger ini. Coba tengok. Kios yang dominan warna hitam, abu-abu, dan merah di sudut Jalan Lamandau IV, Jakarta Selatan, itu tak pernah sepi beraktivitas.

Empat orang pria berkaus hitam-hitam, yang menjadi penghuni tetap dapur, nyaris tak pernah diam. Burger Blenger, Grill Burger dan Chili Dog. Tulisan itu terpampang jelas dalam papan berwarna merah, tepat di atas sebuah dapur mungil berukuran 15 m2. Di depan kios tersebut tampak empat buah payung taman yang masing-masing menaungi satu set meja kursi taman. Di dapur terdapat panggangan yang berukuran sedang, dua buah microwave, serta lemari pendingin yang besar.

Meski hanya sebuah penjaja burger di pinggir jalan, kedai itu hampir tak pernah sepi. Dari pukul 13.00 hingga 21.00 pengunjungnya terus berdatangan. Ada yang bersantap di kedai itu. Tapi, lantaran tempatnya terbatas, banyak pula yang menenteng bungkusan styrofoam berisi burger atau hot dog. Kalau diamati, pembelinya pun beragam. Ada anak-anak ABG yang tampil trendi, lalu orang-orang muda yang baru pulang kerja, eh... terselip pula dua orang lanjut usia mengantre di depan kasir. Lantaran terbilang kedai pinggir jalan, tata cara makan burger di sini sedikit beda.

Pengunjung yang datang harus langsung memesan. Setelah membayar, barulah pesanan tersebut dibuat. Tamu yang banyak membuat pekerja di Burger Blenger beraksi dengan cekatan. Mula-mula mereka menata kemasan styrofoam di atas meja. Lalu di dalamnya diisi dengan burger bun atau hot dog bun, sembari menunggu daging yang dibakar lebih dulu. Mereka juga membubuhkan sayuran serta mayonnaise dalam takaran yang banyak.

Setelah menambahkan daging, styrofoam berisi burger atau hot dog itu dimasukkan ke dalam microwave, agar bumbunya meresap dan bun-nya tambah nikmat. Nah, jika baru pertama kali mampir ke Burger Blenger, tak perlu bingung memilih menu. Di sini cuma ada empat menu makanan, yakni cheese burger, beef burger, chili dog, dan cheesy dog. "Ini semua resep kreatif saya," ujar Erik Kadarman, si pemilik kedai. Selain di Lamandau, Burger Blenger juga mempunyai cabang di Bintaro dan Tulodong House bilangan Senopati. Menu favorit di sini adalah cheese burger.

Satu porsi cheese burger ala Burger Blenger ini memang benar-benar bikin mblenger kekenyangan. Pasalnya, menurut Erik, ia memakai bun dengan bobot 85 gram, serta daging burger yang beratnya 100 gram. "Tapi, ketika dipanggang, bobot daging akan berkurang karena kandungan air hilang dan lemaknya mencair," jelasnya. Bun dan daging racikan sendiriSelain ukurannya heboh, sayuran dalam cheese burger bikinan Erik tampak agak berbeda. Timunnya adalah kyuri atau timun jepang segar, bukan timun yang diasinkan. Pasalnya, "Lidah Indonesia tidak begitu suka timun asin," alasannya. Ia juga menggunakan letuce dan bukan selada air atau selada keriting, agar jika digigit terasa lebih crispy.Erik juga royal membubuhkan mayonnaise dalam porsi menunya. Harganya di pasaran memang selangit.

Tapi, Erik tak merasa terganggu dan rugi lantaran dia bikin mayonnaise sendiri. Itu sebabnya, ia dengan murah hati bisa membubuhkan mayonnaise dalam takaran yang besar. Maklum, "Burger dan hot dog begini, kunci rasanya ada di mayonnaise," papar Erik. Tak tahunya, selain mayonnaise-nya home made, Erik juga membuat sendiri bun, burger, dan sosis untuk kedainya ini. Awalnya dulu Erik mempunyai pemasok roti. Ia juga biasa membeli sosis di pasaran. Tapi, "Sosis itu rasanya biasa," jelas Erik.

Lantas, Erik yang hobi masak itu pun mencoba-coba resep sosis sendiri dan sukses. Jadi, jangan heran jika ukuran sosis untuk cheesy dog terbilang gede. Sebagai pembuat sosis, Erik bebas-bebas saja menentukan sendiri ukuran sosisnya. Dalam sebulan, Erik membutuhkan 1,5 ton daging sapi impor dari Selandia Baru untuk diolah menjadi burger dan sosis. Begitu pun dengan bun atau roti untuk burger dan hot dog. Setelah kedainya mulai ramai, Erik mengaku terdorong membuat bun sendiri. Setiap hari kedai Bugger Blenger ini buka dari pukul 13.00 hingga pukul 21.00.

Tapi, selama waktu itu pula kedainya tak pernah terlihat sepi. Para pembelinya menyerbu menu bikinan Erik. Sepotong cheese burger dan cheesy dog harganya Rp 9.500, sedangkan beef burger serta chili dog harganya Rp 8.000 untuk tiap porsi. Untuk minumannya, ada juice strawberry segar yang dibanderol dengan harga Rp 7.000 per gelas. +++++Sama-Sama Berakhiran ErKalau melihat porsi burger yang disajikan Erik, pastilah langsung tebersit rasa kenyang yang mantap. Malah, ada yang sampai mblenger kekenyangan jika kapasitas perutnya kecil. Sebenarnya, label Burger Blenger ditemukan Erik dengan tak sengaja. Dulu ia mengaku bingung memberi nama kedainya. "Pokoknya saya ingin kasih nama yang sama-sama berawalan B dan berakhiran Er," papar Erik.

Lantas, ia menemukan kata blenger. Kebetulan saja, kata itu cocok dengan penampilan burger Erik. "Begitu gigitan terakhir benar-benar langsung masuk dan kenyang," sambungnya sambil tertawa. Resep dari BrowsingErik Kadarman, pemilik Burger Blenger, mengaku berhobi masak sejak masih SMP. Lelaki berusia 32 tahun ini menceritakan hal itu sambil tertawa lebar. "Kalau teman lain bacanya Hai, waktu itu saya sibuk menggunting resep di Majalah Kartini," cetus ayah satu anak ini. Kendati punya hobi masak, Burger Blenger merupakan usaha makanan pertama yang dirintis Erik. Awalnya, ia bekerja sebagai karyawan salah satu perusahaan Bakrie. Tapi, Erik memang bercita-cita punya usaha sendiri.

Setelah berpikir lama, Erik memilih berjualan burger. Pasalnya, di Amerika, kedai burger banyak bertebaran di setiap sudut. Orang Indonesia juga suka burger, karena makanan ini sudah lazim dijajakan dengan sepeda genjot keluar masuk kampung. Erik ingin berjualan burger di lapak pinggir jalan, bukan di mal atau pusat perbelanjaan. Tujuannya agar orang yang membeli tak perlu repot parkir dan merasa harus berpakaian bagus. "Santai saja. Orang beli bisa langsung dimakan di tempat, di mobil, atau dibawa pulang," kata Erik.

Karena itu, Erik mencari lokasi yang komunitasnya sudah terbentuk, hal yang ia dapatkan di sudut Lamandau IV ini. Kedai burger Erik berdiri pertama kali pada bulan Juli 2004. Ia hanya menggunakan satu gerai kecil dan paling-paling laku 10 porsi tiap hari. Barangkali lantaran merasa cocok, banyak orang menyambangi kedai Erik. Pelan-pelan, jumlah menu yang terjual mencapai 300 porsi. Sekarang, jumlah itu tentu sudah berkali lipat lagi. Setelah kedainya makin laku, Erik yang lantas keluar dari kantornya ini, makin terdorong menambah cita rasa masakannya.

Ia lalu membuat sosis dan bun sendiri. Ia mengaku mencari resep sosis lewat search engine di internet. "Tinggal ketik sausage dan recipe, langsung muncul resep sosis dalam banyak bahasa," ujarnya sambil tertawa. Erik mengambil satu resep dari Jerman, yang terkenal dengan kelezatan sosisnya, lantas diaplikasikan untuk chili dog dan cheesy dog ala Burger Blenger. Mau coba? Burger Blenger~ Jl. Lamandau IV Kebayoran Baru, Jakarta Selatan~ Area Parkir Raja Soto, Bintaro, Jakarta Selatan~Tulodong House, Jl. Senopati, Jakarta Selatan

Rabu, 10 Agustus 2011

Rejeki Dalam Semangkuk Bubur

Semangkuk bubur ayam bisa mengubah jalan kehidupan. Meski begitu, hanya kerja keras dan ketekunan yang bisa mendorong roda rezeki berputar.  
 
Seperti pagi-pagi sebelumnya, tangan Suro (46) tak henti menciduk bubur panas, memotong hati dan ampela, serta menaburkan suwiran daging ayam, bawang, dan seledri ke dalam mangkuk. Tangannya bekerja seperti mesin. Cepat dan efektif. Ia tak ingin pelanggan yang sudah duduk mengelilingi gerobaknya menunggu terlalu lama. Itulah Suro ”tukang” bubur ayam Permata di bilangan Permata Hijau, Jakarta Selatan. 
 
Sejak memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta selepas SMA tahun 1985, Suro meninggalkan desanya, Desa Srumbu, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, Jawa Tengah. ”Saya ingat waktu itu uang di kantong ada Rp 13.000, yang Rp 6.500 untuk naik bis ke Jakarta, sisanya untuk bertahan hidup. Saya kerja serabutan, jadi kuli, jadi OB, pelayan restoran, sampai jadi satpam,” kata Suro, yang sampai kini tetap menyelipkan tulisan ”Gunung Kidul” di salah satu kaca gerobak buburnya.
 
Setahun kemudian ia membantu pamannya sebagai pendorong gerobak bubur ayam. Saat itulah ia merasa bahwa bubur ayam adalah ”jodohnya”. ”Saya nekat berjualan sendiri. Gerobaknya saya beli dengan cicilan selama lima bulan. Saya berkeliling di sekitar Permata Hijau,” katanya.
 
Awalnya, ia mangkal di dekat pangkalan ojek di area itu. ”Pemilik Permata Swalayan kemudian memanggil saya. Saya diminta berjualan di area parkir agar para karyawannya tidak susah menyeberang jalan,” kata Suro.
 
Di lokasi parkir itulah bubur ayam Permata ngetop namanya. Pengunjung datang dari berbagai wilayah di Jakarta. Mereka menyantap bubur di dalam mobil.
 
Dengan tabungan selama lebih dari 20 tahun, Suro sejak tahun lalu bisa menyewa salah satu ”ruangan” di jejeran pertokoan Permata Hijau.  ”Alhamdulillah, uang sewanya memang berlipat-lipat dibandingkan dengan berjualan di lahan parkir. Namun, di sini saya bisa berjualan dengan tenang. Pembeli juga bisa makan dengan nyaman di dalam warung saya, tidak di dalam mobil lagi,” kata Suro, yang berjualan dari pukul 06.00 sampai pukul 21.00.
 
Bubur juga membawa berkah bagi keluarganya. Ia sudah memiliki rumah sendiri di tahun ke-10 berjualan bubur ayam, memiliki mobil di tahun berikutnya. ”Tetapi, yang penting, anak tertua saya sudah kuliah semester empat,” kata bapak empat anak ini, yang merasa bersyukur nasibnya lebih baik dibandingkan dengan teman-teman sedesanya yang dahulu sama-sama merantau ke Jakarta.
Mang Oyo dan Bubur Gaul
Hanya berbekal pendidikan sekolah rakyat, Oyo Saryo (60) atau yang dikenal dengan sapaan Mang Oyo berkelana dari kota kelahirannya, Majalengka, ke Bandung pada tahun 1964. Tiba di Bandung, Oyo yang semula buruh tani itu berjualan minyak tanah keliling, lalu beralih ke bubur lemu (bubur sumsum). Baru pada tahun 1976, Oyo memilih berjualan bubur ayam.
 
Bubur ayam yang pertama kali dijualnya masih berupa bubur encer, bukan bubur kental seperti yang dikenal konsumen saat ini. Bubur kental inilah yang kemudian membuat nama Mang Oyo populer sejak tahun 1989. 
Saat ini bubur dengan nama ”Bubur Ayam MH Oyo Tea” ini hanya berada di lima tempat yang kesemuanya berada di Kota Bandung, yaitu di Sarijadi, Gelapnyawang, Ir H Juanda, Surapati, dan Sulanjana. Dua tempat lain di Bandung ditutup bukan karena tak laku, tetapi karena bermasalah dengan penanggungjawabnya.
 
Oyo tahu bagaimana melindungi produk ciptaannya. Bubur Ayam MH Oyo Tea sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan Departemen Kesehatan serta sudah bersertifikat halal Majelis Ulama Indonesia. Selain menunaikan ibadah haji pada tahun 1995, usaha yang dijalani Oyo sudah menghasilkan rumah di Bandung, serta rumah, vila, dan sawah di Majalengka, selain beberapa kendaraan operasional.
 
Menemukan usaha mapan di bubur ayam juga menjadi pengalaman Achmad Badaruddin, yang dulu bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Kini, ia banting setir menjadi pengusaha bubur ayam. Itu gara-gara suatu kali ia  diajak kliennya bertemu di sebuah hotel di Jakarta Selatan yang menyediakan bubur ayam. Achmad lalu menggagas untuk membawa bubur kelas hotel itu ke warung kaki lima dengan harga kaki lima.
 
Sebelum terjun jualan bubur, dia membuat riset selama empat bulan. ”Saya datangi warung-warung bubur yang katanya enak sampai ke Cipanas,” ujar Achmad, yang senang masak itu. 
 
Setelah informasi lengkap, Achmad dan istrinya, Deasy, mencoba-coba membuat bubur dengan tujuh macam beras yang berbeda. Sampai akhirnya dia mendapatkan beras paling cocok, yakni beras cianjur kepala besar. Achmad selanjutnya menyiapkan konsep dagangnya. Dia ingin menyasar pembeli kelas menengah ke atas. Karena itu, dia membuat warung yang bersih. Mangkuk dia pesan khusus dengan merek Gaul. Sekarang bahkan dia mencetak sendiri mangkuknya. 
 
Pada hari pertama jualan, Achmad memberi 75 mangkuk bubur secara gratis. Rencananya mau kasih gratis satu minggu, ternyata di hari kedua pembeli yang datang sudah membeludak. Yang laku sampai 200 mangkuk. Di hari ketiga dan selanjutnya, rencana memberi gratis satu minggu dibatalkan.
 
Sekarang buburnya sudah punya pelanggan tetap. Setiap hari, dia menjual 50-60 mangkuk, dengan harga Rp 10.000 per mangkuk. Pada Sabtu dan Minggu penjualan melonjak tiga kali lipat. Awalnya, Achmad jualan di tempat parkir pasar yang sekarang jadi Pasar Modern BSD. Beberapa bulan kemudian setelah pasar modern jadi, dia menyewa satu kios. Tiga tahun kemudian, Achmad sudah mampu membeli kios sendiri.
 
Filosofi bubur
Menjadi tukang bubur yang sukses, ada ”resepnya”. Mereka yakin panduan hidup itulah yang telah mengubah nasib mereka. Suro mengaku prinsip hidupnya sangat sederhana. ”Saya akan berupaya mati-matian dengan tangan sendiri. Saya pantang meminta-minta bantuan kepada orang lain,” tegasnya.
 
Mang Oyo pun selalu ingin memuaskan konsumen karena di tangan konsumen nasibnya bergantung. ”Kepercayaan dari pembeli yang membuat bisnis saya bisa bertahan sampai 30 tahun,” katanya.
 
Kiat serupa juga diterapkan Suseno (38), tukang bubur ayam khas Cirebon yang memulai usahanya dengan satu gerobak di sekitar Islamic Village, Tangerang, pada 1999, atau setahun setelah Indonesia mengalami krisis moneter. Secara perlahan, gerobaknya bertambah hingga empat, semuanya di wilayah Tangerang. Pria yang berasal dari Brebes, Jawa tengah, itu kini sudah memiliki ruko, warteg, tiga motor sebagai kendaraan operasional karyawan, sebuah mobil yang terkadang disewakan, dan sebuah rumah di kampung halaman.
 
”Saya bersyukur, kesabaran saya membuahkan hasil seperti sekarang,” ujar Suseno.
 
Bubur ayam khas Cirebon di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, juga tak kalah kondang. Dikenal dengan nama ”Burcik”, gerobak bubur ayam ini sudah mangkal di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak tahun 1970-an. Pengelolanya sudah berpindah tangan tiga kali, dari mulai Mang Didin, kemudian Sulaiman yang juga berjualan martabak di lokasi yang sama, dan sejak tahun 1980 sampai sekarang dipegang oleh Sarwa (55).
 
Pelanggan Burcik beragam, mulai dari seniman yang biasa mangkal di Taman Ismail Marzuki sampai pelanggan dari aneka penjuru Jakarta, terutama mereka yang sudah akrab dengan tempat mangkal ini di era 1970-an dan 1980-an. Lokasi yang berseberangan dengan pertokoan ”Hias Rias” itu (sekarang sudah tak ada) merupakan salah satu tempat gaul di masa itu.
 
Jika pada tahun 1970-an gerobak Burcik hanya menjual sekitar 1 liter beras per hari atau setara dengan 20 mangkuk bubur, pada masa jayanya, yaitu sekitar tahun 1990-an, Burcik bisa menjual sampai 30 liter beras, yang diolah menjadi bubur, per hari. Lewat bubur, Sarwa berhasil membeli rumah toko di pertigaan jalan Cikini dan Cilosari pada tahun 2005, dan sejak dua tahun lalu ia bisa berjualan di rukonya tersebut dari pukul 06.00 sampai pukul 24.00.

Meski kesejahteraannya terus membaik, Sarwa selalu ingat dengan prinsip hidupnya, yaitu kerja keras. Mereka berjuang tanpa subsidi, tanpa pula kenal korupsi.

Selasa, 09 Agustus 2011

Nur Dahyar - mantan karyawan yang menjadi pemasok komponen otomotif

Siapa yang membayangkan orang yang dulunya bekerja di bagian produksi pabrik Toyota Astra Motor (TAM) bisa mengubah nasibnya menjadi rekanan yang memasok komponen pada perusahaan otomotif terbesar di Indonesia tersebut?

Mungkin ada, tidak tidak terlalu banyak. Dan salah satunya adalah Nur Dahyar. Nur—demikian ia biasa dipanggil-membuka usaha pallet setelah “mencuri” ilmu di TAM selama 9 tahun. Saat ini pallet buatan perusahaannya tidak saja digunakan memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga diekspor ke luar negeri. “Sejak awal saya memang mempunyai rencana menjadi pengusaha,” ujarnya.

Pada saat bekerja di Toyota tahun 1978 ia hanya berbekal ijazah SLTP. Namun keinginannya menjadi seorang pengusaha tidak pernah mati, sembari bekerja di Toyota pada malam harinya ia bersekolah SMA hingga lulus Akademi D3 komputer. Ketika bekerja di Toyota, ia pun bertekat menguasai semua bidang sehingga ia minta kepada atasannya supaya di-rolling dari satu bidang ke bidang lain.

Maka sejumlah bidang di industri otomotif ini sudah ia jalani. Mulai dari bidang pengelasan, press, pengepakan, pergudangan dan lainnya. Setelah ia memperoleh cukup ilmu akhirnya ia keluar untuk mendirikan perusahaan kecil-kecilan.

Secara kebetulan ketika di Toyota ia kenal dengan Setiadi, seorang teknisi mesin yang bekerja di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Hubungan pertemanan ini berlanjut menjadi hubungan bisnis. Nur Dahyar lalu mendirikan perusahaan yang diberi nama PT Nuansa Raya Dinamika (NRD) tahun 1997.

Modal awal pengembangan usaha NRD berasal dari pinjaman BNI sebesar Rp 50 juta. Pertama kali memperoleh order dari Pelindo lewat jasa temannya tersebut. Proyek yang ditanganinya adalah pembuatan 9 pemancar lampu (tower) senilai Rp 135 juta yang dilaksanakan dalam beberapa periode.

“Pada bulan pertama NRD menyelesaikan order sebesar Rp 15 juta tetapi biaya yang dikeluarkan sebanyak Rp 25 juta,” ujarnya. Hal ini wajar mengingat NRD harus menginvestasikan mesin dan peralatan lain. Setelah memiliki prospek yang baik koleganya tersebut mengajukan pensiun dini agar bisa fokus dalam mengembangkan perusahaan tersebut. Pada mulanya 100 persen saham dimiliki Nur Dahyar tetapi setelah Setiadi bergabung komposisi kepemilikan saham fity-fifty.

“Kami membina hubungan berdasarkan prinsip saling percaya, walaupun sering kali beda pendapat tetapi sampai sekarang masih bisa bertahan,” kata Setiadi. Jika Dahyar lebih menguasai proses produksi maka Setiadi menangani yang berkaitan masalah keuangan. Pembagian tugas yang jelas menyebabkan masing-masing orang tahu apa yang harus dilakukan dan bidang apa yang harus dikerjakan.

Beralih ke Besi/baja
Semula NRD memproduksi pallet yang terbuat dari kayu tetapi mulai tahun 2001 beralih dengan bahan baku dari besi/baja. Sejak tahun 2002 pallet buatan NRD semua berasal dai besi/baja. Hal ini disebabkan negara seperti Malaysia dan Australia sudah tidak mau menerima pallet yang terbuat dari kayu karena menciptakan masalah lingkungan.

Saat ini produk yang dihasilkan NRD tidak saja pallet baja tetapi juga peralatan konstruksi baja dan mesin-mesin sederhana. NRD telah berkembang menjadi tiga pabrik kecil yang menempati wilayah seluas 2560 meter persegi di daerah Semper. 55 persen produksi NRD untuk memasok kebutuhan Toyota sedangkan 45 persen kepada pelanggan lain. Tercatat beberapa perusahaan seperti PT Maersk Line, SCI, American Line, Mulia Keramik mengguanakan produk NRD.

Saat ini beberapa bank telah menyalurkan kredit pada UKM ini yakni Bank Niaga, Bank Permata dan Citibank. “Sekarang kredit yang bisa dikucurkan bisa mencapai Rp 1 miliar per bulan seiring dengan perkembangan perusahaan,” kata Setiadi. Ia merasa bersyukur karena omzet perusahaan yang semula hanya dibawah Rp 100 juta sekarang sudah mencapai Rp 14 miliar.

Setiadi memperkirakan omset perusahaan di akhir tahun bisa mencapai Rp 20 miliar. Meskipun masih mengandalkan produksi pallet baja tetapi produk-produk lain non-pallet akan ditingkatkan. Pada 2005-2007, NRD ingin masuk pada pengembangan produk komponen mesin. Rencananya 2007-2010 investasi peralatan dan mesin-mesin sudah bisa dilakukan dan akhir tahun 2010 sudah bisa berproduksi.
Khusus bahan baku perusahaannya dipasok oleh PT Krakatau Steel melalui 5 distributor dan pipa dari perusahaan Bakrie. Sejauh ini pasokan lancar sehingga produksi tidak terganggu.

Namun penguatan dolar terhadap rupiah akhir-akhir ini menyebabkan kekhawatiran karena dampaknya sangat buruk bagi usahanya. Sementara untuk jumlah karyawan terus meningkat dari tahun 1997 yang hanya Nur Dahyar dengan anggota keluarga saja. Tahun 1998 berjumlah 7 orang sekarang sudah berkembang menjadi 122 orang. Kebanyakan atau sekitar 78 orang merupakan lulusan smu, 3 dari akedemi, 6 orang univeritas dan sisanya pendidikan SD dan SMP.

Jepang ingin masuk
Setelah melihat prospek bisnis yang baik maka ancaman terbesar yang dihadapi perusahaan adalah rencana perusahaan Jepang melakukan investasi di sektor ini. Hal inilah yang dikhawatirkan karena bisa mengancam eksistensi NRD. Namun kebijakan Toyota yang tetap ingin mempertahankan partner lokal menyebabkan mereka belum bisa masuk.
Tetapi indikasi perusahaan Jepang ingin masuk ke sektor ini sudah ada. “Kami meminta pemerintah memperhatikan ini sebab secara modal dan teknologi mereka pasti tidak kalah,” kata Dahyar.

Sebelumnya tahun 2004 NRD juga terancam setelah produk-produk bajakan dengan harga murah dari Cina diselundupkan melalui berbagai pelabuhan. “Modusnya mereka bekerja sama dengan beberapa orang aparat bea cukai untuk meloloskannya,” ujarnya

Kisah Sukses Mantan Petugas Keamanan

Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.

Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.

Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.

Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada diatas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.

Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. “Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya. Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu. “Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.” Katanya.

Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman,sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.

Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil. Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah,
membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar.

Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2. Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.

Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir.

Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika
beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan. Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini.
“Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini.

Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi. “Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalau kita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Kata Fauzi.

Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri. “Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial.” Katanya.
Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.

“Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Fauzi. ” Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia”

Kisah Elang Gumilang - Bisnis Properti yang Sukses

Merenung mengenai rumah yang dapat dijangkau oleh kalangan bawah dan itulah yang dipikir elang di sepanjang perjalanan dari kampusnya, Institut Pertanian Bogor (IPB), menuju proyek rumah sederhana sehat (RSH) di Ciampea, Kabupaten Bogor.

Elang adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H Enceh dan Hj Priyanti. Tubuh kecil lelaki kelahiran Bogor, 6 April 1985 itu terlihat energik mengamati struktur bangunan rumah-rumah mungilnya. Bukan hanya gerak tubuhnya yang lincah, cara bercakap Elang pun sangat cepat. Di tengah hujan lebat, Elang mengisahkan berbagai perjalanan jatuh bangun kehidupannya merintis usaha properti kecil-kecilan ini."Ini usaha kecil-kecilan karena sebetulnya saya memiliki impian besar, bagaimana orang-orang muda seperti saya ini bangkit bersama membangun negeri ini," ujar Elang.
 
Semangat entrepeneurship atau kewirausahaan seakan tercermin dari perjalanan hidup Elang. Bagaikan burung yang selalu ingin terbang mengepakkan sayapnya setinggi mungkin, Elang tak pernah melupakan untuk melihat Bumi.Bagi Elang, seluruh perjalanan hidupnya yang dibilang sukses meniti karier saat masa studinya yang hampir rampung di Fakultas Ekonomi Manajemen IPB hanyalah kebetulan belaka.
 
Semangat kewirausahaan itu ternyata sudah dimulai sejak masa sekolah menengah umum (SMU). Tahun 2000, sambil menikmati masa-masa indah sekolahnya, Elang sudah berpikir untuk bisa memiliki uang dari hasil jerih payahnya sendiri.Diam-diam Elang berkeliling menjadi penjaja kue donat dan roti. Lumayan juga, setiap hari dia bisa mengantongi setidaknya Rp. 50.000.Setiap hari 10 boks donat, masing-masing berisi 12 buah, dan beberapa roti dibawa ke sekolah untuk ditawarkan ke teman-temannya.
 
Namun, kegiatan iseng-iseng itu tanpa disangka akhirnya ketahuan orangtuanya. Kemarahan orangtuanya tidak membuat Elang berkecil hati. Semangat kewirausahaan itu seakan mendesak untuk terus direalisasikan.Secara kebetulan, begitulah Elang berulang kali menyebut perjalanan hidupnya, prestasinya yang gemilang membuat kemenangan-kemenangan diraih.Kemenangan yang diraih Elang, antara lain, juara pidato bahasa Sunda se-Kota Bogor tahun 2000, juara harapan pertama Lomba Cepat Tepat Sri Baduga se-Jawa Barat, dan kemenangan yang tak pernah dilupakannya adalah juara Java Economics FEM IPB se-Jawa 2003.
 
Lumayan juga semua kemenangan ini karena setiap kemenangan selalu bernilai rupiah yang cukup membuatnya semangat. Elang pun menjadikan uang itu sebagai modal untuk kuliah.Bahkan, sebagian uang itu digunakan Elang untuk modal berjualan sepatu. Namun, usaha ini hampir membuatnya habis-habisan karena dia hampir saja tertipu jutaan rupiah.Semakin dewasa bertumbuh, Elang semakin mengubah arah tujuannya. Di masa-masa kuliah, Elang bukan hanya berpikir bagaimana bisa menghidupi dirinya sendiri, tetapi mulai mengajak rekan-rekan sekampusnya untuk sama-sama merebut kesuksesan.Sekali lagi, menurut Elang, semua ini serba kebetulan.
 
Alhasil, gagasan-gagasan kewirausahaannya pun mudah diterima rekan-rekan sekampusnya. Selain bisnis properti kecil-kecilan, mulailah dia merintis usaha kursus bahasa Inggris di lingkungan sekitar kampus IPB.Elang pun tanpa sungkan mengisahkan dirinya pernah menjadi pemasok lampu di kampusnya. Modalnya cuma daftar harga yang diperoleh dari salah satu pabrik lampu terkenal.Kerja dengan otot mungkin lebih banyak digunakan daripada dengan otak. Begitulah Elang ketika mengisahkan masa-masa kuliahnya yang sebagian digunakan untuk berjualan minyak goreng. Puluhan jeriken dicuci bersih, diisi minyak goreng curah, lalu dikirim ke Pasar Anyar dan Cimanggu, Bogor.
 
"Tapi bagi saya, yang paling unik tetaplah merintis pembangunan rumah untuk rakyat miskin," tegas Elang.Awalnya diremehkanDeretan rumah mungil yang didirikannya bersama lima temannya itu sebenarnya diperuntukkan bagi keluarga-keluarga miskin, terutama warga di sekitar perkampungan itu.Subsidi dari Kementrian Negara Perumahan Rakyat membuat rumah seluas 22 meter yang berdiri di atas lahan 60 meter persegi dapat ditawarkan cuma Rp 25 juta dan Rp 37 juta per setiap unit."Murah banget, tetapi lucunya orang-orang kota juga sangat berminat terhadap rumah-rumah ini, bahkan tahap awal pembangunan 45 rumah sudah habis terjual," ujar Elang.
 
Susahnya berurusan dengan bank dirasakan pula oleh Elang. Sebagai mahasiswa biasa, perbankan tampaknya enggan memberikan bantuan modal. Padahal, prospek usahanya diyakini sangat jelas, rumah selalu saja ada permintaannya."Itulah nasib orang muda. Mereka sulit diberi kesempatan untuk merintis sesuatu yang dinilai mulia. Orang bank bilang, lebih baik kami kasih modal ke tukang gorengan daripada ke mahasiswa," kata Elang, menirukan ucapan seorang staf sebuah bank.
 
Tak ada rotan, akarpun jadi. Tanpa kenal menyerah, akhirnya Elang mengajak patungan teman-temannya. hasilnya, dengan modal Rp 340 juta, mereka merintis pembangunan rumah sehat sederhana.Sekali lagi, rumah-rumah yang dibangunnya itu mendapat dukungan subsidi dari pemerintah karena fokus perhatiannya adalah untuk si miskin berpenghasilan rendah."Kita bisa menjadi pengusaha sejati kalau bisa dipercaya oleh rekan terdekat kita. Karena itu, tanpa bantuan perbankan, usahanya mulai beralih menjadi semacam perusahaan terbuka. Modalnya, ya siapa yang mau ikutan patungan, ya silahkan saja. Keuntungannya pasti bisa dibicarakan," ujar Elang.
 
Dari penjualan rumah yang sedikit demi sedikit itu, modalnya diputar kembali untuk membebaskan lahan di sekitarnya. Rumah bercat kuning pun satu demi satu mulai berdiri. Belakangan ini Elang justru dijuluki "Juragan RSS" ala Bogor oleh penduduk setempat.
 
Menurut Elang, andaikan semua orang muda mau bergerak memikirkan kebutuhan masyarakat miskin, tentu di negeri ini akan banyak tumbuh wirausaha muda. Yang pasti, lapangan pekerjaan pun akan semakin terbuka lebar.Siapa yang akan peduli lagi?Komentar Warta Tinular
 
Elang Gumilang merupakan contoh generasi muda yang tidak pantang menyerah dan tidak mudah mengeluh. Selain menjadikan proyek rumah murah sebagai bisnisnya, dia juga secara tidak langsung ikut membantu kepemilikian rumah bagi warga kurang mampu.Bandingkan dengan kebanyakan lulusan Perguruan Tinggi Negeri, Swasta maupun para Akademia yang saat ini mengeluhkan sekaligus mengkambinghitamkan kurangnya lapangan kerja ;-)
 
Sangat banyak sekali para lulusan Perguruan Tinggi yang secara teknis hanya pandai dalam teori namun NOL BESAR dalam praktiknya, Dunia Kerja sendiripun banyak yang mengeluhkan para tenaga kerja mereka yang baru saja lulus Perguruan Tinggi kebanyakan tidak siap pakai.Sudah saatnya para generasi muda bangkit, berusaha mandiri dan tidak tergantung lapangan kerja yang ada. Bukankah para pemilik-pemilik perusahaan yang mapan itu saat ini, dulunya juga memulai dari bawah ?Bagaimana ada lapangan kerja kalau tidak ada seorangpun yang berinisiatif berwirausaha.
 
Elang Gumilang merupakan salah satu contoh Entrepreneur muda yang sukses berjalan dari bawah. Saya yakin di Indonesia ini masih banyak Elang Gumilang lainnya walaupun tidak terekspos oleh media

Cak Eko - Pengusaha Kuliner Bakso Malang Cak Eko

Suksesnya Cak Eko tidak ujug-ujug. Ada masa jatuh bangun. Ada perjuangan sangat berat yang kini berujung pada mengguritanya bisnis franchisenya.

Berikut ini kisahnya:
Tahun 1997, saat baru pertama kali hijrah di Jakarta saya pernah jual-beli HP second. Saya beli HP second dari Jakarta, dijual di Surabaya. Cuma bertahan 1 tahun karena semakin lama marjin yang saya dapatkan kecil. Harga jual HP second di Jakarta dan Surabaya hampir sama.

Tahun 1998, saya mencoba peruntungan di bisnis MLM. Namun saya hanya bisa bertahan selama 6 bulan dikarenakan jiwa saya tidak bisa sepenuhnya menjalankan bisnis ini secara maksimal.

Tahun 1999, karena sedang booming agrobisnis, saya patungan dengan 7 orang teman. Menanam jahe gajah 3 ha di Sukabumi. Operasional, perawatan dan penanaman kami percayakan kepada KUD setempat. Kami mengunjungi setiap 2 minggu sekali.

Saat panen kami gagal. Tonase tidak sesuai dengan perkiraan. Kegagalan ini lebih disebabkan oleh faktor kurangnya pengawasan dan pengetahuan tentang ilmu pertanian. Uang modal 5 juta saat itu yang sebenarnya saya harapkan bisa berlipat sebagai modal nikah tahun 2000 habis tak berbekas.
Tahun 2000, dengan segala keterbatasan, saya menikah di Surabaya. Beberapa hari setelah pernikahan, istri langsung saya boyong ke kost-kost-an yang sudah dipersiapkan di Jakarta. Tempat yang sangat sederhana dan tidak ada perabot apapun. Uang sisa-sisa sumbangan pernikahan saya gunakan untuk membeli sebuah kasur dan beberapa perlengkapan lain.
Hidup di Jakarta bersama istri dengan gaji pas-pasan adalah problem. Uang gaji yang tidak seberapa membuat saya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti uang belanja, sewa kamar (kost) hingga keperluan-keperluan lainnya. Dalam posisi yang serba sulit dan terjepit itulah adrenalin saya kembali naik. Keinginan saya muncul kembali, yaitu keinginan untuk kembali berbisnis !!
Berbagai informasi dan peluang saya cari melalui internet. Saya dapat peluang untuk mengirimkan sebuah artikel teknik ke Jepang. Dengan berbekal kemampuan menulis dan didukung dengan kenekatan saya mengirimkan abstraksi makalah dan berhasil. Abstraksi naskah saya diterima dan saya berkesempatan jalan-jalan gratis ke Jepang.
Saya tidak menghabiskan semua biaya perjalanan yang saya dapat dan pada saat kembali ke Tanah Air. Bisa mengumpulkan uang sebesar 13 juta sisa dari perjalanan saya ke Jepang. Intuisi bisnis saya segera berputar. Uang 13 juta untuk apa?
Pilihan saya jatuh pada menjalani bisnis tas dan dompet kulit produksi Tanggulangin Sidoarjo. Bisnis berjalan lancar. Barang yang saya datangkan dari Tanggulangin saya sebar ke butik-butik di Jakarta.
Yang menjadi persoalan adalah pembayaran dari butik-butik tersebut tidak selancar yang diharapkan. Sistem konsinyasi yang diterapkan tidak mendukung kelancaran cash flow. Banyak tagihan yang tertunda hingga membuat saya kesulitan memutar uang.
Setelah satu tahun berjalan saya memutuskan untuk berhenti dari bisnis tersebut. Barang-barang yang berada di butik pun saya tarik semuanya dan dibawa pulang kerumah untuk saya bagi-bagikan kepada keluarga. Alih-alih mendapat untung, modal usaha sebesar 13 juta pun amblas.
Saya bukan tipikal orang yang mudah menyerah dan putus asa. Setelah gagal berbisnis Jahe Gajah dan tas kulit, bisnis lainpun saya coba. Tahun 2001 pilihan saya jatuh pada bisnis busana muslim. Dengan modal sebesar 5 juta yang berasal dari pinjaman koperasi kantor, bisnis busana muslimpun saya jalani.
Saya pilih pasar Tanah Abang Jakarta sebagai tempat kulakan dan kota Surabaya menjadi tujuan saya untuk melempar barang. Bisnis saya berkembang pesat dengan tingkat keuntungan mencapai 100%. Kala itu saya tidak mengambil keuntungan usaha untuk keperluan konsumtif. Keuntungan yang saya dapat saya tambahkan lagi sebagai modal hingga akhirnya aset yang saya miliki makin berkembang.
Lama kelamaan banyak orang yang meniru bisnis ini dan kompetitor mulai bermunculan dengan harga yang lebih murah. Hingga akhirnya omset bisnis saya turun drastis. Setelah saya jalani selama 1 ½ tahun, walaupun tidak rugi total, saya memutuskan untuk berhenti dan beralih ke bisnis kerajinan tangan (handy craft).
Pertengahan tahun 2002, saya melihat-lihat pameran handy craft dan tertarik dengan kerajinan miniatur becak & sepeda yang dipajang di salah satu stand. Saya mencoba untuk memproduksinya sendiri. Tiap sabtu dan minggu saya membawa proposal penawaran ke beberapa hotel dan pasar swalayan di Jakarta.
Beberapa tempat bersedia menerima produk tersebut.

Lagi-lagi persoalannya semua hanya bersedia menerima barang dengan sistem konsinyasi. Kesulitan cash flow kembali terulang. Setelah berjalan 6 bulan bisnis kerajinan tangan inipun saya tutup.

Awal tahun 2003 saya kembali bangkit untuk berbisnis. Kali ini saya mencoba menggeluti bisnis catering rumahan di perumahan Vila Nusa Indah II tempat tinggal saya kala itu. Awalnya bisnis ini berprospek bagus, namun kompetitor membuat bisnis ini harus membuat inovasi baru.

Kala itu saya mencoba untuk membikin variasi menu makanan yang bisa menjadi pilihan para pelanggan. Saya sebar brosur untuk agar mendapatkan pelanggan baru. Namun adanya kompetitor baru yang lebih kreatif dan inovatif, maka bisnis inipun mengalami penurunan omset. Bisnis inipun tidak saya teruskan.
Tahun 2004, saya tertarik dengan sebuah produk franchise makanan ringan sejenis crispy. Dengan modal uang 5 juta saya beli franchise tersebut dan mulai berjualan di kompleks perumahan villa Nusa Indah, Jati Asih, Bekasi.
Tiga bulan pertama, sangat ramai (memperoleh omset sebesar Rp. 250.000/hari). Rupanya keberuntungan belum berpihak pada saya. Karena setelah ramai selama tiga bulan, bulan-bulan selanjutnya omset turun drastis. Untuk mengatasi hal tersebut maka saya putuskan untuk pindah ke lokasi lain. Di lokasi yang baru tersebut bisa diperoleh omset sebesar Rp. 150.000 dengan prosentase keuntungan sebesar 30%.
Memang di bisnis ini tidak mengalami kerugian namun saya merasa prospek kedepan bisnis ini tidak terlalu bagus hingga akhirnya bisnis inipun saya sudahi setelah berjalan 1 tahun walau kontrak waralabanya 2 tahun.

Pengalaman mengambil bisnis waralaba itu membawa hikmah tersendiri bagi saya. Impian besarnya sangat kuat, yaitu ingin memiliki sebuah bisnis yang menerapkan sistem franchise. Jeda waktu satu tahun (2005) saya manfaatkannya untuk mempelajari dan mengamati berbagai jenis usaha franchise yang sudah ada.

Obsesinya adalah menjadi pemilik waralaba bisnis makanan pun terus berkobar. Hingga akhirnya sekitar tahun 2005 (menjelang Ramadhan), pada saat mengantar saudara ke stasiun Gambir dan bandara Soekarno-Hatta, saya tertarik melihat sebuah rumah makan bakso yang selalu ramai dikunjungi pembeli.

Intuisi saya segera muncul bahwa inilah jenis bisnis yang selama ini saya cari dimana dengan hanya menjual bakso yang saat itu dikenal dengan makanan rakyat namun bisa masuk bandara yang sewanya pertahun mencapai ratusan juta. Di bulan dan di tahun itupula saya langsung mempunyai niat yang kuat untuk belajar ilmu membuat bakso di Surabaya.

Saya segera belajar dari juru masak bakso yang dikenalkan oleh kerabat dekat. Sehari penuh saya belajar ilmu memasak dan membikin bakso tanpa mengalami kendala karena memang hobi saya adalah memasak. Sesampai di Jakarta langsung saya melakukan berbagai eksperimen selama 3 bulan dengan menggabungkan resep-resep yang saya cari dari berbagai sumber. Tujuannya untuk bisa mendapatkan resep bakso yang khas dan memiliki cita rasa yang tinggi.

Akhirnya kerja keras saya tidak sia-sia. Formula spesial bakso Malang pun berhasil saya temukan. Setelah yakin dengan pilihan (bisnis bakso) dan formula yang saya miliki, saya memulai bisnis di daerah Jatiwarna Bekasi di sebuah pujasera dengan sistem bagi hasil, dengan diberi nama Bakso Malang Kota “Cak Eko”.

Terbukti warung bakso saya sangat diminati pelanggan. Melihat animo pelanggan yang begitu besar, pada pertengahan tahun 2006, saya memberanikan diri untuk membuka cabang di Tamini Square dengan modal sebesar 25 juta yang saya dapatkan dari menyisihkan keuntungan penjualan perbulan ditambah dengan sedikit uang pinjaman.

Rupanya bisnis baksolah yang membawa peruntungan bagi saya dan istri.Dalam waktu singkat, outlet di Tamini Square ramai dikunjungi pelanggan. Bahkan tidak sedikit yang berminat untuk mengambil franchise dalam bisnis bakso yang saya geluti.

September 2006, saya mulai menawarkan kemitraan melalui website (internet). Konsep bisnis bakso Malang Kota “Cak Eko” langsung mendapatkan respon positif dari masyarakat. Keberhasilan saya dalam membangun bisnis bakso beramai-ramai diberitakan media massa hingga akhirnya bisnis franchise Bakso Malang Kota “Cak Eko” berkembang pesat.

Tak kurang dari 30 cabang baru bermunculan hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Saat ini cabang Bakso Malang Kota “Cak Eko” telah mencapai 85 cabang yang tersebar luas di wilayah Jabodetabek, Palembang, Pekanbaru, Banda Aceh, Duri Riau, Bengkulu, Jambi, Serang, Bandung, Kudus, Solo, Surabaya, Makasar, Sintang, Tarakan, Palangkaraya, Sangata, Bontang, Palu dan masih banyak permintaan dari seluruh Indonesia.

Adi Kharisma - Pemilik Usaha Sweet Purple

Sweet Purple

Sekali waktu datanglah ke pusat makan ubi jalar Sweet Purple di kawasan Bintaro Sektor I, Jakarta. Nikmati aneka hidangan yang dibuat dari ubi ungu, mulai dari es krim, jus, hingga ice burger. Di Sweet Purple, ubi ungu diolah dengan berbagai kreativitas menjadi kuliner yang berkelas.

Di tangan Adi Kharisma (50), pemilik Sweet Purple, ubi ungu menjadi obyek kreativitasnya. ”Bila usaha kita mau maju, buatlah sedikit berbeda dengan lainnya,” kata Adi memaknai kreativitasnya mengolah produk makanan berbahan baku ubi.

Bagi Adi, kreativitas untuk menghasilkan sebuah produk pangan sangat menentukan maju tidaknya sebuah usaha. Karena alasan itu pula, Adi tidak pernah berhenti menciptakan berbagai produk pangan, yang semula dicitrakan kampungan menjadi makanan berkelas.

Karena ubi ungu pula Adi mantap meninggalkan usahanya sebagai distributor makanan dan minuman di Bali. Begitu pula dengan gelar akademis yang dia peroleh dari San Francisco State University, Amerika Serikat, dia kesampingkan. Adi lebih tertarik menekuni usaha ubi ungu.

Usaha berbasis ubi ungu tidak dibangun Adi karena latah atau meniru orang lain. Adi mengutamakan orisinalitas gagasan untuk menghasilkan produk yang memiliki tempat tersendiri di hati konsumen.

Omzet usaha dari mengolah ubi ungu itu, menurut Adi, relatif lumayan. Setidaknya, membuat Adi berani meninggalkan usaha lamanya yang telah mapan. Adi mengusahakan produk makanan dan minuman berbahan dasar ubi ungu dari lahan satu hektar miliknya di Bali.

Konsep penjualan melalui sistem waralaba yang dikembangkannya pun kini mulai banyak peminat. Bahkan, dalam waktu dekat dia berencana membuka satu gerai lagi di Jakarta. Kegigihan Adi menciptakan aneka makanan berbahan baku ubi ungu berawal dari kisah tragis keluarganya. Tujuh anggota keluarga dekat Adi meninggal karena penyakit kanker secara berturut-turut selama tujuh tahun sejak tahun 1995.

Adi tertantang mencari informasi sebanyak-banyaknya, terutama terkait penyakit kanker dan pencegahannya. ”Koleksi buku saya sekitar 100, semua bicara tentang kanker dan bagaimana mencegahnya,” ujarnya. Dari pencarian yang amat panjang dan melelahkan, Adi akhirnya menyimpulkan, penyakit kanker lebih banyak disebabkan oleh faktor konsumsi makanan dan lingkungan.

Pilihan paling mungkin adalah menjaga agar asupan makanan yang masuk ke tubuh bisa dikontrol. Dipilih yang benar-benar bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Ubi ungu, dalam pengamatan Adi, merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung antioksidan.

Hal itu, kata Adi, karena ubi ungu mengandung serat pangan alami yang tinggi, prebiotik, kadar Glycemic Index rendah, dan oligosakarida. Pigmen warna ungu pada ubi ungu bermanfaat sebagai antioksidan karena dapat menyerap polusi udara, racun, oksidasi dalam tubuh, dan menghambat penggumpalan sel-sel darah.

Menjaga kualitas
Adi sadar, meski makanan berbahan baku ubi ungu banyak manfaatnya, tidak mudah bagi masyarakat perkotaan untuk mendapatkan bahan pangan ini. Kalaupun ada, biasanya tidak menarik untuk dikonsumsi karena hanya direbus. Padahal, masyarakat perkotaan umumnya senang yang serba praktis, termasuk dalam memilih makanan.

Perilaku masyarakat inilah yang dijadikan Adi sebagai tantangan untuk meraih peluang usaha.

Kini, dengan kreativitasnya, ubi ungu dapat menjadi makanan yang memenuhi selera masyarakat. Saat ini yang dibutuhkan Adi adalah menjaga konsistensi kualitas ubi ungu.

Untuk itu, Adi terjun langsung ke ladang untuk menanam ubi. Varietas ubi ungu yang dikembangkan pun dipilih dari Jepang. Selain kualitas warna ungunya bagus, juga kualitas rasanya stabil bila teknik budidayanya diterapkan secara tepat.

Perlahan tetapi pasti, usaha makanan dan minuman berbasis ubi ungu yang dibangun Adi mulai menunjukkan hasil. Kunci dari perjalanan bisnis Adi adalah kreativitas dan kemampuan menangkap peluang usaha.

Hermas E Prabowo
© 2008 - 2009 Kompas

Hendy Setiono, Bos Kebab Turki

Raih Berkah di Jalur Timur Tengah

Namanya Hendy Setiono, pemuda Alumni Entrepreneur University Surabaya ini masih sangat muda, baru 25 tahun. Tapi, sepak terjang bisnisnya sudah tak diragukan lagi. Kalau Anda menjumpai mobil Nissan X-Trail bernomor polisi K 38 AB di jalanan, itulah mobil Hendi. Pelat nomor seharga Rp 16 juta itulah yang membuat orang mudah mengenali dan menyapanya ketika sedang jalan-jalan dengan mobilnya. “Biasanya tukang parkir menggoda, bayarnya pakai kebab saja,” ujarnya lantas tertawa.

Pelat nomor sengaja dibuat K 38 AB untuk mendekati kata kebab. Berkat kebab inilah, nama Hendi sebagai pengusaha muda sukses, terukir.

Hendy adalah pendiri dan presiden direktur PT Baba Rafi Indonesia. Kebab Turki Baba Rafi adalah hasil inovasi bisnisnya. Dia memulai bisnis itu dengan modal hanya Rp 4 juta. Dia enggan meminta bantuan orang tua. “Itu duit hasil pinjam arek-arek (teman-temannya, Red) dan saudara,” kisahnya.

Outlet makanan ala Timur Tengah itu kini berjumlah 325, membentang dari kawasan superramai seperti Jakarta hingga pelosok Ambon. Ratusan outlet itu dipantau dan disupervisi dari dua kantor operasional di kawasan Nginden, Surabaya, dan Pondok Labu, Jakarta. Tahun lalu omzet usahanya mencapai Rp 45 miliar, dan 25 persen di antaranya masuk kantongnya sebagai laba bersih. “Tahun ini omzetnya saya targetkan Rp 60 miliar,” ujarnya.

Apa yang sudah dipunyai Hendy dari keberhasilannya berbisnis? Hendy tampak agak malu menjawab pertanyaan ini. Sekulum senyum kecil dikeluarkannya. “Apa ya? Ehm, ada beberapa, Mas. Alhamdulillah. Masak disebutkan?” katanya masih diiringi senyum.
hendyboothDia terbatuk sebentar. Agak ragu, tak lama kemudian, Hendy mulai menjawab. “Aset yang pertama saya beli Yamaha Mio,” ujarnya. Dia membeli motor itu beberapa bulan setelah memulai berbisnis. “Ke mana-mana saya pakai motor itu,” tuturnya.

Setahun pertama, Hendi mengaku “hanya” mendapat penghasilan bersih per bulan Rp 20 juta. “Wah, rasanya sudah seneng banget. Baru umur 20 tahun, penghasilan sudah Rp 20 juta sebulan,” ceritanya.

Setelah membeli Yamaha Mio? “Sekarang kasihan motor itu, sudah nggak muat nampung badan saya semakin melar. Jadi, cari motor yang agak gedean, pakai Harley-Davidson,” ujar nominator Asia’s Best Entrepreneur Under 25 versi Majalah BusinessWeek tersebut.

Selain itu, Hendi punya dua rumah; satu di Jakarta dan satu lagi di Surabaya. Di Surabaya, dia membeli rumah di salah satu kawasan elite, Perumahan Bumi Galaxy Permai. Soal rumah yang satu ini, Hendi punya cerita tersendiri. “Ini rumah idaman saya,” tuturnya.

Dulu, cerita Hendi, semasa masih duduk di bangku kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITS, setiap pulang dari kampus, Hendi yang kala itu tinggal di Semolowaru, Surabaya, selalu melewati kawasan perumahan itu. Dia sering berhenti sejenak di perumahan elite itu. Saking seringnya mondar-mandir di perumahan itu sepulang dari kampus, dia sampai kenal dengan sejumlah satpam di sana. “Rumahnya besar-besar, megah-megah. Kelak saya ingin punya rumah seperti ini,” tekadnya ketika itu.

Hendi mengaku terkagum-kagum dengan rumah-rumah di kawasan itu. “Bahkan, hujan saja nggak banjir, beda dengan rumah saya. Halaman depannya itu lebih luas daripada rumah saya di Semolowaru,” kisahnya.
Dari proses itulah Hendi yakin bahwa mimpi yang terus disemai akan bisa mewujud jika diiringi pancangan semangat yang kuat untuk mewujudkannya. “Semuanya berangkat dari impian. Alhamdulillah, saya kemarin berangkat ke Jakarta (wawancara dengan Hendi dilakukan di Jakarta beberapa waktu lalu, Red) sudah dari rumah di Galaxy Bumi Permai,” ceritanya. “Kalau saya tidak berani mulai jualan pakai gerobak, semua mimpi itu hanya tinggal mimpi,” imbuhnya.

Dengan segala apa yang dimiliki kini, Hendi lebih leluasa menyalurkan hobinya berjalan-jalan. Setiap mengisi seminar di berbagai kampus di Indonesia, dia selalu menyempatkan diri mengunjungi berbagai tempat wisata. “Saya lebih suka ke tempat wisata yang alami, lihat pantai, lihat hutan,” ujarnya.

Jalan-jalan ke luar negeri juga sudah menjadi rutinitas yang sangat biasa bagi salah satu 10 Tokoh Pilihan 2006 versi majalah Tempo tersebut. “Dulu jalan-jalan ke luar negeri itu jadi mimpi, sesuatu yang wah, seolah nggak terjangkau. Alhamdulillah, sekarang udah sering,” tuturnya.

Hendy tak melupakan sedekah. Dananya secara tetap didonasikan ke tujuh yayasan yatim-piatu. “Saya menyadari sulitnya kehidupan mereka karena orang tua saya juga bukan orang kaya,” katanya. Dia yakin, jika seseorang tak perhitungan dalam sedekah, rezeki yang diberikan Tuhan akan terus mengalir. “Saya yakin istilah inden rezeki. Orang biasanya membayar zakat 2,5 persen dari keuntungan. Saya membaliknya, sebelum ada untung, harus bayar zakat dulu,” ujarnya. “Pokoknya, kalau omzet turun, kita hajar dengan sedekah,” imbuhnya.

Di luar itu Hendy hampir tidak pernah menghambur-hamburkan uang untuk hobi yang tidak jelas. Misal, clubbing di tempat hiburan malam. “Kalau jalan-jalan ke mal, itu rutin. Tapi, saya dan keluarga tidak konsumtif. Paling-paling hanya lihat tren fashion saat ini untuk diterapkan ke bisnis saya. Misalnya, untuk desain pakaian karyawan dan outlet-outlet,” ujar pria kelahiran 30 Maret 1983 itu. Ketika jalan-jalan itu, Hendi tak khawatir dengan roda bisnisnya. “Owner-nya bisa jalan-jalan, yang mantau manajemen di Surabaya dan Jakarta.”

Hendy lebih suka memakai uangnya untuk melebarkan sayap bisnis. Dia yakin bahwa tak boleh ada kata berpuas diri dalam jiwa seorang pebisnis. Dia kini meretas gerai Roti Maryam Aba-Abi, roti khas Timur Tengah. “Sekarang baru 40 outlet, mayoritas masih di Jatim,” kata Hendi yang, bersama aktris Dian Sastro dan Artika Sari Devi, menjadi duta Wirausaha Muda Mandiri tersebut.

Tak hanya itu, insting bisnis yang kuat membawa pria berbadan subur itu mendirikan Baba Rafi Palace. Sudah dua pondokan megah yang disewakan di Surabaya. “Di Siwalankerto, ada 18 kamar dengan tarif Rp 700 ribu per bulan per kamar. Lalu di Prapanca ada 16 kamar, tarifnya Rp 1,2 juta per bulan,” ujarnya.

Satu lini bisnis makanan juga sedang disiapkan Hendy. “Lagi ngerjakan Piramida Pizza. Kalau biasanya pizza ditaruh loyang, ini mau ditaruh di cone. Jadi, makan pizza bisa sambil jalan-jalan, seperti makan es krim,” terang bapak dengan tiga anak itu.

Dia juga bakal berekspansi ke luar negeri. “Di Malaysia saya baru aja bikin Baba Rafi Malaysia Sdn Berhad. Target awalnya mendirikan 25 outlet kebab,” ujarnya.

Dari UKM(elarat) ke UKM(iliaran)
Hendy memulai bisnis dengan terseok-seok. “Tentu tidak langsung bombastis seperti sekarang. Saya harus jatuh bangun, berdarah-darah.” Dia mengisahkan, saat baru dua minggu berjualan kebab dengan satu gerobak di kawasan Nginden, Surabaya, orang yang diajaknya berjualan sakit.

Dari semula berjualan berdua, dia pun memutuskan menunggui gerobaknya seorang diri. “Ndilalah hari itu hujan deras, jadi sepi,” ceritanya. Untuk menghibur diri, hasil jualan hari itu dibelikan makanan di warung sebelah tempat gerobaknya berdiri. “Di sana ada warung sea food. Saat saya membayar, eh ternyata lebih mahal daripada hasil jualan saya. Jadi, malah rugi,” kisahnya.

Hendy memulai bisnis kala berusia 20 tahun. Dia berhenti kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITS saat masuk tahun kedua. “Belum sempat di-DO (drop out, Red), saya OD, out dhewe (keluar sendiri, Red),” ujarnya lantas tertawa.

Ibunya yang pensiunan guru dan bapaknya yang bekerja di sebuah perusahaan di Qatar shock melihat keputusan Hendy. “Orang tua saya ingin saya selesai kuliah, lalu kerja di perusahaan. Bukan malah jualan pakai gerobak,” katanya. Namun, Hendi bergeming. “Setelah berhasil, orang tua malah ingin ikut-ikutan berbisnis,” kata ayahanda Rafi Darmawan, 5, Reva Audrey Sahira, 3, dan Ready Enterprise, 1.

Kini bisnisnya terus membesar. Dari hanya satu karyawan, kini perusahaannya mempekerjakan 700 karyawan. “Yang jadi manajemen inti 200 orang. Semuanya lulusan S1 dan S2,” ceritanya, bangga.

Dia mengibaratkan perjalanan bisnisnya dengan dua istilah UKM yang berbeda. “Dulu kami hanya UKM, usaha kecil melarat. Sekarang masih UKM, tapi usaha kecil miliaran,” tuturnya.

Sekarang ada satu mimpi yang bakal diwujudkan tahun ini. “Saya ingin mengajak semua keluarga jalan-jalan ke Eropa.”