Rabu, 20 Februari 2013

Kisah sukses bisnis tahu bakso

baksotahu
Sebagai istri pegawai negeri sipil (PNS) dengan gaji yang dirasa tak bisa memenuhi kebutuhan yang semakin besar, membuat Sri Lestari (55), harus memutar otak untuk mencari tambahan penghasilan.
Perempuan tiga anak itu pun mencoba bisnis pakaian, kelontong, dan beberapa usaha lain. Namun usaha itu tidak berjalan seperti yang diharapkan alias gagal. Ia jatuh bangun dalam membangun usaha. Dan, itu tak membuatnya patah arang.
Hingga akhirnya, istri Pudjianto itu mendapati ada menu tahu bakso yang belum pernah ditemuinya sebelumnya, pada suatu acara. Perempuan berjilbab yang hobi memasak itu lalu mencoba membuat penganan itu sendiri. Secercah harapan muncul. Penganan berbahan tahu dan bakso buatannya disukai.
"Awalnya kami hanya menjual di kalangan teman-teman PKK, atau Dharma Wanita. Lama kelamaan pesanan mengalir, akhirnya kami putuskan setiap hari membuat tahu bakso,’’ kata Sri Lestari, yang akrab disapa Bu Pudji, pemilik Toko Tahu Bakso Bu Pudji yang mulai dibuka pada 1996 itu.
Dia mengatakan, awalnya ia hanya memproduksi antara 100-150 biji. Usaha itu terus berkembang hingga pada 2002 ia mampu memproduksi hingga 1.500 biji. Kini, rata-rata ia menghasilkan sebanyak 10 ribu buah per hari. Bahkan, saat liburan hari raya Lebaran dan akhir pekan mencapai 15 ribu tahu per hari. Omzetnya mencapai ratusan juta per hari.
Meski pesanan cukup banyak ia tetap memperhatikan kualitas bahan baku dan pembuatannya dengan memenuhi standar kesehatan. ”Kami tidak menggunakan bahan pengawet, seperti formalin. Bahkan dalam prosesnya, peralatan maupun pengolahan selalu higienis. Makanya, tahu kami hanya dapat bertahan dua hari saja, kecuali dimasukkan ke lemari es,’’ ujarnya seperti dilansir Harian Suara Merdeka.
Dengan munculnya pesaing baru yang mencapai sekitar 20 usaha, ia mengaku bersyukur. Sebab, usaha tersebut mampu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

‘’Untuk bahan baku tahu, sejak awal kami menggunakan kedelai impor yang kualitasnya memang bagus dibanding kedelai lokal. Untuk dagingnya, kami memilih yang berkualitas,’’ tandasnya.

Bisnis usaha yang dibantu sekitar 70 karyawan itu kini berkembang pesat. Selain membuka outlet di Jalan Letjend Suprapto 24 Ungaran, ia juga membuka outlet di Jalan Jenderal Sudirman 156, Langensari atau depan Stadion Wujil, Ungaran.

Sarjana teknik mesin yang suskes dengan bisnis kuliner


Sarjana Teknik Mesin Yang Sukses Dengan Bisnis Kuliner

Rivai Fadli - Pemilik Surabi Bantai


Awal Juni petang itu, di sebuah toko yang terletak di jalan T. Iskandar, Lambhuk, Kota Banda Aceh, seorang lelaki muda terlihat sibuk melayani para pengunjung. Tujuh meja plastik yang di taruh di halaman toko dipenuhi puluhan gadis remaja. Dua perempuan yang duduk di meja paling pojok terlihat serius mengamati buku kecil berisi deretan menu. Beberapa saat mereka memanggil pelayan. Menu pilihan kini siap dihidangkan.


Begitulah suasana saban hari di tempat ini. Para warga kota Banda Aceh yang demen makanan enak dan unik, tentu Surabi Bantai jawabannya. Penganan tradisional yang dikemas dengan konsep modern ini pasti membuat anda ketagihan. Jangan khawatir soal harga, satu porsi anda cukup membayar enam ribu rupiah. Murahkan?



Surabi Bantai Rasa Saos dan Coklat
Rasa dulu ah...
Mumpung gratis, coba dulu ah....


Bagi kebanyakan orang Aceh kue serabi sudah sangat familiar. Penganan berbahan baku tepung yang dimakan dengan kuah santan. Berbentuk bulat, dengan permukaan kenyal. Nah, Surabi yang ini lain. Tidak dimakan dengan santan, tidak bulat, tapi tetap empuk.

Nama Surabi adalah gabungan antara Sunda dan Aceh. Su berarti Sunda dan Surabi berarti nama kue yaitu serabi. Bantai itu sendiri adalah bahasa Aceh yang berarti bantal. Nah, karena surabi makanan yang empuk sama halnya dengan bantal maka disebutlah Surabi Bantai. Jargonnya pun terkesan unik, Bantai surabinya rasakan empuknya.

Siapa sangka lezatnya Surabi Bantai itu ternyata lahir dari sentuhan tangan dingin pemuda lulusan Teknik Mesin. Alih-alih ingin membuat mesin, eh malah ia membuat kue.

Pemuda itu bernama Rivai Fadli. Lahir di Aceh Jaya, tahun 1985. Ia adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) N 1 Kota Banda Aceh. Setelah melepaskan seragam putih abu-abu,  ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan mengambil jurusan Teknik Mesin.

Bagi Rivai kuliah hanya untuk membuka wawasan dan membentuk pola pikir. Bukan berarti ketika kuliah mengambil jurusan hukum anda harus menjadi seorang pengacara. Ia sendiri justru lebih tertarik bergelut di dunia bisnis, meskipun ia tak mengantongi ijazah ekonomi.

“Tak ada yang salah kan kalau sarjana teknik tapi berbisnis,” ujar pria berkulit putih ini tersenyum.
Sore itu ia bersedia berbagi cerita seputar usaha surabi bantai yang kini membuatnya bisa hidup mandiri. Omset yang didapat dari bisnis kuliner ini setiap bulan mencapai Rp. 90 juta. Bila dikurangi biaya produksi dan operasional lainnya, laba bersih yang masak ke kantongnya berkisar Rp. 35 juta sampai Rp.45 juta perbulan.

Membangun usaha mandiri memang tak semudah membalik telapak tangan. Perlu perjuangan dan kesabaran. Jatuh, bangun, jatuh lagi dan bangkit lagi. Setidaknya itu dialami Rivai selama membuka usaha sendiri. Pria yang sudah menikah ini tiga kali mengalami kegagalan. Namun ia tak menyerah justru baginya gagal itu adalah pelajaran tambahan agar ia lebih siap menyambut kesuksesan.



Dan kini apa yang diucapkan terbukti sudah. Bisnis kuliner surabi bantai adalah satu-satunya eksperimen yang berakhir manis.

Lantas bagaimana kisah surabi bantai ini diciptakan?

“Saat itu saya jalan-jalan ke Bandung. Usaha ayam panggang baru saja saya tutup. Jadi saya refresing ke sana, siapa tahu dapat ide baru. Di kota Bandung saya melihat, mempelajari bagaimana orang di sana mengelola bisnis kuliner sederhana tapi laku. Saya lihat di Bandung banyak makanan-makanan tradisional yang konsep penjualannya secara modern,” jelas Rivai. Sesekali ia meminta izin karena harus melayani para pengunjung.

Dari hasil observasi itu maka timbullah ide untuk  membuat  kue tradisional Aceh dengan konsep madern. Dan pilihannya jatuh pada kue serabi. Kenapa serabi? “Serabi salah satu kue tradisional yang paling mudah ditemukan di Aceh,” jawab Rivai serius.

Sejak pulang dari Bandung, Rivai giat belajar membuat kue serabi. Berbekal tips-tips dari buku dan internet ia terus mencoba. “Tiga bulan kerjaan saya hanya bikin kue serabi. Pertama buat rasanya aneh banget,” kata Rivai terbahak mengenang perjuangan tempo hari.

Bulan ke empat ia mengambil keputusan untuk membuka usaha serabi. Modal awal hanya Rp. 15 Juta. Dengan modal tergolong kecil itu ia membeli peralatan ; gerobak, peralatan masak, tepung dan beberapa buah meja serta kursi plastik.

Ia memilih lokasi di depan pertokoan dekat dengan jalan utama Lambhuk. Biar lebih mudah diakses sama pelanggan, begitu alasannya. Awal berjualan orang-orang penasaran makanan jenis apa surabi bantai. Apalagi serabi made in Rivai ini tersedia dalam beragam rasa. Ada rasa coklat, rasa keju, saos, sosis dan telor.

“Pertama buka orang pada ketawa, bingung, penasaran. Kok ada ya, serabi rasa sosis. Akhirnya mereka coba, dan ternyata enak, besoknya bahkan mereka minta ditambah rasa-rasa yang lain,” ujarnya.

Bagi Rivai masukan  dari pelanggan menjadi ilmu yang berharga. Bahkan ia sangat senang kalau ada pelanggan yang cerewet. Dengan begitu ia bisa tahu apa kekurangan dari makanan yang ia sajikan.

“Saya suka dikritik, kalau tidak dikritik saya tidak tahu apa kekurangan masakan saya. Misal hari ini ada pelanggan yang bilang ‘serabinya terlalu lembek’, ya besoknya saya buat jangan terlalu lembek,” katanya membuka konsep dalam berbisnis.

Satu tahun kemudian, Rivai memindahkan gerobaknya ke tempat yang lebih bagus. Kini ia menyewa satu unit toko dua lantai. Di tempat yang baru nama surabi bantai semakin meroket. Kini surabi bantai sudah punya langganan tetap. Dan satu hal lagi yang harus diberi apresiasi, kini ia memiliki 12 karyawan.

Ke depan Rivai berniat untuk membuka outlet surabi bantai di Banda Aceh. Targetnya usai lebaran tahun ini. Mimpi besar lain yang ia tanam adalah menjadikan surabi bantai salah satu usaha berbasis franchise. Semoga mimpi itu terwujud.

Tinggalkan pekerjaan demi bisnis kuliner


Tinggalkan Pekerjaan demi Bisnis Kuliner
Watermark image
Dibaca : 76 kali      Komentar: 0

Bisa dibilang, awal membangun bisnis kuliner Lele Crispy terinspirasi dari kejadian yang tak disengaja. Yaitu ketika Fajar Alam Setiabudi (30) memarkirkan kendaraannya di depan sebuah warung makan lele yang kala itu ramai dengan pembeli.
"Tapi pas saya coba, kok rasanya begini-gini aja, enggak enak tapi kok ramai ya. Saya berpikir, kalau bisa diolah dengan baik, ikan lele pasti enak. Dari situ akhirnya saya putuskan untuk membuka usaha," ujarnya.
Namun tak serta merta keesokan harinya Fajar mendirikan warung makannya itu. Selama waktu satu bulan, Fajar mencoba berbagai resep untuk bisa menghasilkan lele nikmat dan dahsyat saat dicoba. "Saya coba-coba mulai dari lelenya mau diapakan, bentuk penyajiannya bagaimana, sampai pada sambalnya. Sepuluh kali saya ganti-ganti sambal karena takarannya yang menurut saya kurang pas," ujarnya.
Dari gemar memasak saat masih duduk di bangku sekolah dasar, menempuh pendidikan Pariwisata di Universitas Trisakti, Jakarta Selatan, dan bekerja di majalah masak-memasak, cukup menjadi modal Fajar berbisnis kuliner. "Saya pernah jadi karyawan di sebuah perusahaan swasta, tapi saya berpikir, kenapa tidak buka usaha kuliner sendiri saja toh saya juga suka masak," kata Fajar.
Meski bisa dibilang membangun bisnis kuliner Lele Crispy adalah rencananya yang tak disengaja, namun keinginan membuka usaha sudah ada sejak kecil. "Dari sejak suka masak itulah saya punya cita-cita mau punya usaha kuliner sendiri. Ya akhirnya terwujud juga sekarang," tuturnya.
Dalam berbisnis tentu kendala senantiasa muncul. Namun kendala itu tak sampai membuat Fajar patah arang. Saat berencana memutuskan membuka usaha pada pertengahan 2009, Fajar sempat mendapat masukan dari keluarga untuk tak mengambil keputusan terburu-buru dengan keluar dari pekerjaannya sebagai dapur uji di Majalah Sedap.
"Tapi karena keinginan, niat, dan usaha yang kuat, saya bisa membangun usaha ini sampai akhirnya bisa seperti sekarang. Istri sangat mendukung, malah dia berhenti bekerja untuk membantu saya di warung," kisahnya.
Soal persaingan, Fajar tak takut meski banyak sekali warung makan bahkan warung-warung tenda yang menjual lele sebagai menu utama. Gurih, murah, dan pelayanan yang menarik dijadikan Fajar sebagai senjata untuk mempertahankan dan menarik minat para konsumen terhadap bisnis yang digelutinya.
Minat untuk membuka cabang atau menggunakan sistem waralaba kini sudah ada dalam pemikirannya. Hanya saja, untuk melaksanakannya, Fajar harus berpikir ulang agar semuanya tetap terkendali dan tidak sampai menelantarkan apa yang sudah dibangunnya sejak tiga tahun terakhir.
"Harus pikirkan SDM-nya juga kalau mau buka cabang. Selama ini kan saya juga menjalaninya sendiri, saya yang olah bahan-bahannya sendiri, dan juga masih masak kalau warung memang lagi ramai. Mungkin tahun depan akan ada rencana jadinya seperti apa," tuturnya. (vin)