Rabu, 10 Agustus 2011

Rejeki Dalam Semangkuk Bubur

Semangkuk bubur ayam bisa mengubah jalan kehidupan. Meski begitu, hanya kerja keras dan ketekunan yang bisa mendorong roda rezeki berputar.  
 
Seperti pagi-pagi sebelumnya, tangan Suro (46) tak henti menciduk bubur panas, memotong hati dan ampela, serta menaburkan suwiran daging ayam, bawang, dan seledri ke dalam mangkuk. Tangannya bekerja seperti mesin. Cepat dan efektif. Ia tak ingin pelanggan yang sudah duduk mengelilingi gerobaknya menunggu terlalu lama. Itulah Suro ”tukang” bubur ayam Permata di bilangan Permata Hijau, Jakarta Selatan. 
 
Sejak memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta selepas SMA tahun 1985, Suro meninggalkan desanya, Desa Srumbu, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, Jawa Tengah. ”Saya ingat waktu itu uang di kantong ada Rp 13.000, yang Rp 6.500 untuk naik bis ke Jakarta, sisanya untuk bertahan hidup. Saya kerja serabutan, jadi kuli, jadi OB, pelayan restoran, sampai jadi satpam,” kata Suro, yang sampai kini tetap menyelipkan tulisan ”Gunung Kidul” di salah satu kaca gerobak buburnya.
 
Setahun kemudian ia membantu pamannya sebagai pendorong gerobak bubur ayam. Saat itulah ia merasa bahwa bubur ayam adalah ”jodohnya”. ”Saya nekat berjualan sendiri. Gerobaknya saya beli dengan cicilan selama lima bulan. Saya berkeliling di sekitar Permata Hijau,” katanya.
 
Awalnya, ia mangkal di dekat pangkalan ojek di area itu. ”Pemilik Permata Swalayan kemudian memanggil saya. Saya diminta berjualan di area parkir agar para karyawannya tidak susah menyeberang jalan,” kata Suro.
 
Di lokasi parkir itulah bubur ayam Permata ngetop namanya. Pengunjung datang dari berbagai wilayah di Jakarta. Mereka menyantap bubur di dalam mobil.
 
Dengan tabungan selama lebih dari 20 tahun, Suro sejak tahun lalu bisa menyewa salah satu ”ruangan” di jejeran pertokoan Permata Hijau.  ”Alhamdulillah, uang sewanya memang berlipat-lipat dibandingkan dengan berjualan di lahan parkir. Namun, di sini saya bisa berjualan dengan tenang. Pembeli juga bisa makan dengan nyaman di dalam warung saya, tidak di dalam mobil lagi,” kata Suro, yang berjualan dari pukul 06.00 sampai pukul 21.00.
 
Bubur juga membawa berkah bagi keluarganya. Ia sudah memiliki rumah sendiri di tahun ke-10 berjualan bubur ayam, memiliki mobil di tahun berikutnya. ”Tetapi, yang penting, anak tertua saya sudah kuliah semester empat,” kata bapak empat anak ini, yang merasa bersyukur nasibnya lebih baik dibandingkan dengan teman-teman sedesanya yang dahulu sama-sama merantau ke Jakarta.
Mang Oyo dan Bubur Gaul
Hanya berbekal pendidikan sekolah rakyat, Oyo Saryo (60) atau yang dikenal dengan sapaan Mang Oyo berkelana dari kota kelahirannya, Majalengka, ke Bandung pada tahun 1964. Tiba di Bandung, Oyo yang semula buruh tani itu berjualan minyak tanah keliling, lalu beralih ke bubur lemu (bubur sumsum). Baru pada tahun 1976, Oyo memilih berjualan bubur ayam.
 
Bubur ayam yang pertama kali dijualnya masih berupa bubur encer, bukan bubur kental seperti yang dikenal konsumen saat ini. Bubur kental inilah yang kemudian membuat nama Mang Oyo populer sejak tahun 1989. 
Saat ini bubur dengan nama ”Bubur Ayam MH Oyo Tea” ini hanya berada di lima tempat yang kesemuanya berada di Kota Bandung, yaitu di Sarijadi, Gelapnyawang, Ir H Juanda, Surapati, dan Sulanjana. Dua tempat lain di Bandung ditutup bukan karena tak laku, tetapi karena bermasalah dengan penanggungjawabnya.
 
Oyo tahu bagaimana melindungi produk ciptaannya. Bubur Ayam MH Oyo Tea sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan Departemen Kesehatan serta sudah bersertifikat halal Majelis Ulama Indonesia. Selain menunaikan ibadah haji pada tahun 1995, usaha yang dijalani Oyo sudah menghasilkan rumah di Bandung, serta rumah, vila, dan sawah di Majalengka, selain beberapa kendaraan operasional.
 
Menemukan usaha mapan di bubur ayam juga menjadi pengalaman Achmad Badaruddin, yang dulu bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Kini, ia banting setir menjadi pengusaha bubur ayam. Itu gara-gara suatu kali ia  diajak kliennya bertemu di sebuah hotel di Jakarta Selatan yang menyediakan bubur ayam. Achmad lalu menggagas untuk membawa bubur kelas hotel itu ke warung kaki lima dengan harga kaki lima.
 
Sebelum terjun jualan bubur, dia membuat riset selama empat bulan. ”Saya datangi warung-warung bubur yang katanya enak sampai ke Cipanas,” ujar Achmad, yang senang masak itu. 
 
Setelah informasi lengkap, Achmad dan istrinya, Deasy, mencoba-coba membuat bubur dengan tujuh macam beras yang berbeda. Sampai akhirnya dia mendapatkan beras paling cocok, yakni beras cianjur kepala besar. Achmad selanjutnya menyiapkan konsep dagangnya. Dia ingin menyasar pembeli kelas menengah ke atas. Karena itu, dia membuat warung yang bersih. Mangkuk dia pesan khusus dengan merek Gaul. Sekarang bahkan dia mencetak sendiri mangkuknya. 
 
Pada hari pertama jualan, Achmad memberi 75 mangkuk bubur secara gratis. Rencananya mau kasih gratis satu minggu, ternyata di hari kedua pembeli yang datang sudah membeludak. Yang laku sampai 200 mangkuk. Di hari ketiga dan selanjutnya, rencana memberi gratis satu minggu dibatalkan.
 
Sekarang buburnya sudah punya pelanggan tetap. Setiap hari, dia menjual 50-60 mangkuk, dengan harga Rp 10.000 per mangkuk. Pada Sabtu dan Minggu penjualan melonjak tiga kali lipat. Awalnya, Achmad jualan di tempat parkir pasar yang sekarang jadi Pasar Modern BSD. Beberapa bulan kemudian setelah pasar modern jadi, dia menyewa satu kios. Tiga tahun kemudian, Achmad sudah mampu membeli kios sendiri.
 
Filosofi bubur
Menjadi tukang bubur yang sukses, ada ”resepnya”. Mereka yakin panduan hidup itulah yang telah mengubah nasib mereka. Suro mengaku prinsip hidupnya sangat sederhana. ”Saya akan berupaya mati-matian dengan tangan sendiri. Saya pantang meminta-minta bantuan kepada orang lain,” tegasnya.
 
Mang Oyo pun selalu ingin memuaskan konsumen karena di tangan konsumen nasibnya bergantung. ”Kepercayaan dari pembeli yang membuat bisnis saya bisa bertahan sampai 30 tahun,” katanya.
 
Kiat serupa juga diterapkan Suseno (38), tukang bubur ayam khas Cirebon yang memulai usahanya dengan satu gerobak di sekitar Islamic Village, Tangerang, pada 1999, atau setahun setelah Indonesia mengalami krisis moneter. Secara perlahan, gerobaknya bertambah hingga empat, semuanya di wilayah Tangerang. Pria yang berasal dari Brebes, Jawa tengah, itu kini sudah memiliki ruko, warteg, tiga motor sebagai kendaraan operasional karyawan, sebuah mobil yang terkadang disewakan, dan sebuah rumah di kampung halaman.
 
”Saya bersyukur, kesabaran saya membuahkan hasil seperti sekarang,” ujar Suseno.
 
Bubur ayam khas Cirebon di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, juga tak kalah kondang. Dikenal dengan nama ”Burcik”, gerobak bubur ayam ini sudah mangkal di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak tahun 1970-an. Pengelolanya sudah berpindah tangan tiga kali, dari mulai Mang Didin, kemudian Sulaiman yang juga berjualan martabak di lokasi yang sama, dan sejak tahun 1980 sampai sekarang dipegang oleh Sarwa (55).
 
Pelanggan Burcik beragam, mulai dari seniman yang biasa mangkal di Taman Ismail Marzuki sampai pelanggan dari aneka penjuru Jakarta, terutama mereka yang sudah akrab dengan tempat mangkal ini di era 1970-an dan 1980-an. Lokasi yang berseberangan dengan pertokoan ”Hias Rias” itu (sekarang sudah tak ada) merupakan salah satu tempat gaul di masa itu.
 
Jika pada tahun 1970-an gerobak Burcik hanya menjual sekitar 1 liter beras per hari atau setara dengan 20 mangkuk bubur, pada masa jayanya, yaitu sekitar tahun 1990-an, Burcik bisa menjual sampai 30 liter beras, yang diolah menjadi bubur, per hari. Lewat bubur, Sarwa berhasil membeli rumah toko di pertigaan jalan Cikini dan Cilosari pada tahun 2005, dan sejak dua tahun lalu ia bisa berjualan di rukonya tersebut dari pukul 06.00 sampai pukul 24.00.

Meski kesejahteraannya terus membaik, Sarwa selalu ingat dengan prinsip hidupnya, yaitu kerja keras. Mereka berjuang tanpa subsidi, tanpa pula kenal korupsi.

1 komentar:

  1. Sayang Hannah.
    Kami mendapat rincian perbankan Anda, kami ingin Anda tahu bahwa kami baru saja diteruskan ke bank yang meyakinkan kita bahwa pinjaman Anda akan masuk ke rekening bank Anda setiap saat dari sekarang baik-baik saja. sehingga semua yang perlu Anda lakukan sebelum Anda mendapatkan pinjaman Anda sekarang adalah hanya untuk Anda untuk membayar biaya pendaftaran pinjaman Anda yang hanya Rp 1.599.990 Dan segera setelah Anda kirimkan, itu akan mengambil beberapa jam untuk pinjaman Anda untuk mendapatkan ke bank akun oke. jadi kami ingin Anda untuk kembali ke kami sekarang untuk informasi Western Union sehingga pinjaman Anda dapat ditransfer ke Anda setelah pembayaran Anda telah dikonfirmasi dan diverifikasi.
    Menunggu tanggapan mendesak Anda !!!
    Banyak cinta,
    Ibu Alexandra.

    BalasHapus